Bagi masyarakat secara umum konsumerisme adalah bentuk pemakain barang
yang tidak menurut kebutuhan, tetapi hanya berdasarkan tuntutan gengsi
atau pola hidup yang berfoya-foya. Kebutuhan masyarakat pada suatau
barang tidak didasarkan atas manfaatnya melainkan hanya keinginan
semata.
Sedangkan Konsumerisme dalam agama Buddha terdapat dalam Parabhava Sutta. Dalam Parabhava sutta, diterangkan mengenai sebab-sebab kemerosotan atau hilangnya kekayaan seseorang. Dalam kenyataannya menghabiskan kekayaan ini adalah sangat mudah dibandingkan dalam mencari kekayaan. Dalam Parabhava sutta dijelaskan mengenai saluran-saluran dalam menghabiskan kekayaan atau sebab-sebab kemerosotan seseorang, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak Mengenal Dhamma
Mendengarkan Dhamma pada saat yang sesuai, Mendiskusikan Dhamma pada saat yang sesuai, itulah berkah utama. (Angutara Nikaya, Manggala sutta). Tetapi kenyataan dalam kehidupan sekarang ini masih banyak manusia yang tidak memiliki kesempatan mendengar dan mendiskusikan Dhamma. Dengan demikian, orang yang tidak mengenal Dhamma akan jauh dari prilaku baik dan mengkondiskan untuk berbuat jahat. Dalam Parabhava sutta sang Buddha mengatakan “ Orang yang sedang jaya mudah diketahui, orang yang sedang mengalami kemerosotan mudah diketahui, barang siapa yang mencintai Dhamma, jayalah ia, barang siapa membenci Dhamma, merosotlah ia”. (Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipatta).
Dalam kehidupan sekarang ini apabila manusia selalu berbuat hal-hal yang tidak bermanfaat, dan selalu mengumbar keinginan nafsunya. Mempunyai sifat serakah dan selalu mementingkan diri sendiri sehingga tidak mau berdana atau membantu sesama. Maka manusia seperti itu adalah manusia yang tidak mengenal Dhamma sehingga harus dijauhi.
2. Berkumpul Dengan Orang-orang jahat
Bergaul hendaknya seseorang harus dapat membedakan antara teman sejati (Kalyanamitta) dengan sahabat atau teman palsu (akalyanamitta). Apabila seseorang bergaul dengan orang-orang yang berkelakuan buruk, penjudi, pemabuk, tidak bermoral, penipu atau yang hanya mengharapkan keuntungan maka hendaknya tidak bergaul dengan orang-orang tersebut
Dalam Sigalovada Sutta, pathika vagga 15 dijelaskan bahwa terdapat empat macam sahabat palsu, yaitu: (1) teman yang bertujuan menipu, (2) teman yang hanya manis dimulut saja, (3) mereka yang memuji-muji dan membujuk, dan (4) mereka yang mendorong seseorang yang menuju jalan yang membawa kerugian atau kehancuran. (Choon Kim: 2004: 36).
Keempat macam orang ini, bukanlah teman-teman yang sejati, mereka adalah teman yang palsu. Maka wajar jika seseorang tidak bergaul dengan mereka. Bergaul dengan mereka dapat memberikan penderitaan dalam hidup. Hendaknya seseorang harus bergaul dengan orang-orang yang mempunyai kelakuan atau kepribadian yang baik, yang dapat memberikan masukan atau saran. Akibat dari berkawan dengan teman yang berkelakuan buruk ini, dinyatakan Sang Buddha dalam Parabhava sutta, dimana Sang Buddha memberikan penjelasan kepada dewa yang menanyakan tentang sebab utama tentang kejatuhan seseorang. Buddha berkata bahwa:
Orang yang seperti ini akan beteman dengan teman licik yang dekat dengannya dan tidak akan membahagiakannya bila ia berkumpul dengan yang bajik. Selain itu apabila seseorang berkumpul dengan para pelacur, wanita pemabuk, pemboros, atau kepada seorang laki-laki dengan ciri yang sama, Inilah sebab musabab dari kemerosotan atau penyebab kejatuhan seseorang (Parabhava Sutta, Kudakka Nikaya, Sutta Nipatta).
Yang dimaksud orang-orang jahat disini adalah penjudi, pelacur, pemabuk, penipu, pembohong dan orang kasar. Apabila berkumpul dengan orang-orang tesebut, akan kehilangan kekayaan kerana terpengaruh olah kejahatan yang dilakukannya sehingga kekayaan yang kita miliki akan dapat cepat habis karena dipergunakan untuk hal-hal yang tidak baik atau kejahatan.
Apabila dalam kehidupan sekarang ini seseorang berteman dengan seorang pembohong, penjudi, tidaklah baik karena seseorang akan terpengaruh malakukan berjudi sehingga apabila kalah akan banyak kehilangan harta atau uang. Bergaul dengan para pelacur akan sangat berpengaruh karena seorang pelacur akan selalu melakukan pemerasan terhadap kekayaan dan melakukan perbuatan yang melanggar norma kesusilaan. Bergaul dengan para pemabuk akan berpengaruh dalam minum-minuman yang memabukkan, sehingga akan ketagihan dan cenderung untuk membeli minum-minuman sehingga lama-kelamaan kekayaan kan habis untuk membeli minuman.
Bergaul dengan penipu sangatlah berbahaya karena, seorang penipu dapat juga menipu diri kita, hanya ingin menguasai atau ingin mendapatkan harta yang kita miliki. Bergaul dengan orang kasar akan terpengaruh kekasarannya sehingga dalam melakukan sesuatau tidak sadar akan cenderung akan kasar. inilah enam jenis orang yang jahat (penjudi, pelacur, pemabuk, penipu, pembohong, dan orang kasar) yang tidak bisa dijadikan teman dan selalu dihindari. yang mempunyai perilaku buruk atau jahat.
Maka hendaknya seseorang menghindari orang-orang tersebut, agar dapat hidup damai tentram dan dapat terhindar dari prilaku konsumerisme atau prilaku yang hanya menghaburkan harta kekayaan atau menghamburkan uang, sehingga mengakibatkan kemerosotan seseorang.
Sedangkan Konsumerisme dalam agama Buddha terdapat dalam Parabhava Sutta. Dalam Parabhava sutta, diterangkan mengenai sebab-sebab kemerosotan atau hilangnya kekayaan seseorang. Dalam kenyataannya menghabiskan kekayaan ini adalah sangat mudah dibandingkan dalam mencari kekayaan. Dalam Parabhava sutta dijelaskan mengenai saluran-saluran dalam menghabiskan kekayaan atau sebab-sebab kemerosotan seseorang, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak Mengenal Dhamma
Mendengarkan Dhamma pada saat yang sesuai, Mendiskusikan Dhamma pada saat yang sesuai, itulah berkah utama. (Angutara Nikaya, Manggala sutta). Tetapi kenyataan dalam kehidupan sekarang ini masih banyak manusia yang tidak memiliki kesempatan mendengar dan mendiskusikan Dhamma. Dengan demikian, orang yang tidak mengenal Dhamma akan jauh dari prilaku baik dan mengkondiskan untuk berbuat jahat. Dalam Parabhava sutta sang Buddha mengatakan “ Orang yang sedang jaya mudah diketahui, orang yang sedang mengalami kemerosotan mudah diketahui, barang siapa yang mencintai Dhamma, jayalah ia, barang siapa membenci Dhamma, merosotlah ia”. (Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipatta).
Dalam kehidupan sekarang ini apabila manusia selalu berbuat hal-hal yang tidak bermanfaat, dan selalu mengumbar keinginan nafsunya. Mempunyai sifat serakah dan selalu mementingkan diri sendiri sehingga tidak mau berdana atau membantu sesama. Maka manusia seperti itu adalah manusia yang tidak mengenal Dhamma sehingga harus dijauhi.
2. Berkumpul Dengan Orang-orang jahat
Bergaul hendaknya seseorang harus dapat membedakan antara teman sejati (Kalyanamitta) dengan sahabat atau teman palsu (akalyanamitta). Apabila seseorang bergaul dengan orang-orang yang berkelakuan buruk, penjudi, pemabuk, tidak bermoral, penipu atau yang hanya mengharapkan keuntungan maka hendaknya tidak bergaul dengan orang-orang tersebut
Dalam Sigalovada Sutta, pathika vagga 15 dijelaskan bahwa terdapat empat macam sahabat palsu, yaitu: (1) teman yang bertujuan menipu, (2) teman yang hanya manis dimulut saja, (3) mereka yang memuji-muji dan membujuk, dan (4) mereka yang mendorong seseorang yang menuju jalan yang membawa kerugian atau kehancuran. (Choon Kim: 2004: 36).
Keempat macam orang ini, bukanlah teman-teman yang sejati, mereka adalah teman yang palsu. Maka wajar jika seseorang tidak bergaul dengan mereka. Bergaul dengan mereka dapat memberikan penderitaan dalam hidup. Hendaknya seseorang harus bergaul dengan orang-orang yang mempunyai kelakuan atau kepribadian yang baik, yang dapat memberikan masukan atau saran. Akibat dari berkawan dengan teman yang berkelakuan buruk ini, dinyatakan Sang Buddha dalam Parabhava sutta, dimana Sang Buddha memberikan penjelasan kepada dewa yang menanyakan tentang sebab utama tentang kejatuhan seseorang. Buddha berkata bahwa:
Orang yang seperti ini akan beteman dengan teman licik yang dekat dengannya dan tidak akan membahagiakannya bila ia berkumpul dengan yang bajik. Selain itu apabila seseorang berkumpul dengan para pelacur, wanita pemabuk, pemboros, atau kepada seorang laki-laki dengan ciri yang sama, Inilah sebab musabab dari kemerosotan atau penyebab kejatuhan seseorang (Parabhava Sutta, Kudakka Nikaya, Sutta Nipatta).
Yang dimaksud orang-orang jahat disini adalah penjudi, pelacur, pemabuk, penipu, pembohong dan orang kasar. Apabila berkumpul dengan orang-orang tesebut, akan kehilangan kekayaan kerana terpengaruh olah kejahatan yang dilakukannya sehingga kekayaan yang kita miliki akan dapat cepat habis karena dipergunakan untuk hal-hal yang tidak baik atau kejahatan.
Apabila dalam kehidupan sekarang ini seseorang berteman dengan seorang pembohong, penjudi, tidaklah baik karena seseorang akan terpengaruh malakukan berjudi sehingga apabila kalah akan banyak kehilangan harta atau uang. Bergaul dengan para pelacur akan sangat berpengaruh karena seorang pelacur akan selalu melakukan pemerasan terhadap kekayaan dan melakukan perbuatan yang melanggar norma kesusilaan. Bergaul dengan para pemabuk akan berpengaruh dalam minum-minuman yang memabukkan, sehingga akan ketagihan dan cenderung untuk membeli minum-minuman sehingga lama-kelamaan kekayaan kan habis untuk membeli minuman.
Bergaul dengan penipu sangatlah berbahaya karena, seorang penipu dapat juga menipu diri kita, hanya ingin menguasai atau ingin mendapatkan harta yang kita miliki. Bergaul dengan orang kasar akan terpengaruh kekasarannya sehingga dalam melakukan sesuatau tidak sadar akan cenderung akan kasar. inilah enam jenis orang yang jahat (penjudi, pelacur, pemabuk, penipu, pembohong, dan orang kasar) yang tidak bisa dijadikan teman dan selalu dihindari. yang mempunyai perilaku buruk atau jahat.
Maka hendaknya seseorang menghindari orang-orang tersebut, agar dapat hidup damai tentram dan dapat terhindar dari prilaku konsumerisme atau prilaku yang hanya menghaburkan harta kekayaan atau menghamburkan uang, sehingga mengakibatkan kemerosotan seseorang.
3. Kemalasan
Seseorang yang malas akan memberikan banyak alasan untuk tidak berkerja. Orang yang seperti ini menyalahkan cuaca atau iklim dengan berkata terlalu dingin atau terlalu panas, dan juga menyalahkan waktu dengan mengatakan terlalu pagi atau terlalu malam. Atau orang yang mempunyai sifat malas untuk bekerja orang tersebut akan menyalahkan perutnya dan berkata dia terlalu lapar atau terlalu kenyang. Sang Buddha mengatakan bahwa orang yang mempunyai sifat kemalasan, akan meninggalkan banyak hal, yang belum dikerjakan. Orang yang malas menggunakan uang yang telah dimiliki akan dihamburkan sehingga kekayaannya akan habis. Karena orang yang malas tidak berfikir untuk mencari uang untuk menambah kekayaannya.
Sang Buddha mengatakan kepada umat manusia untuk tidak bermalas-malasan karena hal itu dapat menyebabkan kejatuhan seseorang. Dalam Parabhava sutta (Sn I,6) Sang Buddha mengatakan “suka tidur, suka bergosip, malas dan mudah tersinggung adalah penyebab kejatuhan seseorang”. Jadi kemalasan merupakan sebab kehancuran seseorang, hendaknya seseorang bekerja untuk mendapatkan kekayaan, dan berusaha menambah harta yang telah dimiliki, dengan bekerja keras dalam melakukan pekerjaannya sehingga kesuksesan akan mudah dicapai. Selain itu manusia juga tidak terjerumus dalam konsumerisme yang hanya berfikir untuk memuaskan keinginan nafsu dan hanya hidup berfoya-foya.
4. Kurang Berdana
Dewasa ini, banyak umat awam yang telah salah mengerti pengertian dari berdana yang sesungguhnya. Mereka menganggap berdana hanya orang kaya yang perlu melakukannya, sedangkan orang miskin tidak perlu. Mereka juga menganggap membakar dupa yang besar di Vihara akan mendatangkan manfaat lebih besar daripada berdana kepada orang yang lebih membutuhkan. Masih banyak contoh lagi di masyarakat yang tidak tahu mengenai pengertian dari berdana
Berdana dalam agama Buddha lebih diartikan sebagai perbuatan memberi atau melepaskan apa yang kita miliki, sehingga dapat mengurangi rasa kemelekatan terhadap sesuatu yang menjadi milik kita. Dana juga dikenal dengan istilah danamaya yang berarti suatu kehendak yang baik yang patut ditimbulkan untuk mengikis lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan kemelekatan terhadap harta duniawi yang berupa sumbangan dana atau sumbangan kepada yang pautut menerima (S, Sagatha vagga :18)
Seseorang yang malas akan memberikan banyak alasan untuk tidak berkerja. Orang yang seperti ini menyalahkan cuaca atau iklim dengan berkata terlalu dingin atau terlalu panas, dan juga menyalahkan waktu dengan mengatakan terlalu pagi atau terlalu malam. Atau orang yang mempunyai sifat malas untuk bekerja orang tersebut akan menyalahkan perutnya dan berkata dia terlalu lapar atau terlalu kenyang. Sang Buddha mengatakan bahwa orang yang mempunyai sifat kemalasan, akan meninggalkan banyak hal, yang belum dikerjakan. Orang yang malas menggunakan uang yang telah dimiliki akan dihamburkan sehingga kekayaannya akan habis. Karena orang yang malas tidak berfikir untuk mencari uang untuk menambah kekayaannya.
Sang Buddha mengatakan kepada umat manusia untuk tidak bermalas-malasan karena hal itu dapat menyebabkan kejatuhan seseorang. Dalam Parabhava sutta (Sn I,6) Sang Buddha mengatakan “suka tidur, suka bergosip, malas dan mudah tersinggung adalah penyebab kejatuhan seseorang”. Jadi kemalasan merupakan sebab kehancuran seseorang, hendaknya seseorang bekerja untuk mendapatkan kekayaan, dan berusaha menambah harta yang telah dimiliki, dengan bekerja keras dalam melakukan pekerjaannya sehingga kesuksesan akan mudah dicapai. Selain itu manusia juga tidak terjerumus dalam konsumerisme yang hanya berfikir untuk memuaskan keinginan nafsu dan hanya hidup berfoya-foya.
4. Kurang Berdana
Dewasa ini, banyak umat awam yang telah salah mengerti pengertian dari berdana yang sesungguhnya. Mereka menganggap berdana hanya orang kaya yang perlu melakukannya, sedangkan orang miskin tidak perlu. Mereka juga menganggap membakar dupa yang besar di Vihara akan mendatangkan manfaat lebih besar daripada berdana kepada orang yang lebih membutuhkan. Masih banyak contoh lagi di masyarakat yang tidak tahu mengenai pengertian dari berdana
Berdana dalam agama Buddha lebih diartikan sebagai perbuatan memberi atau melepaskan apa yang kita miliki, sehingga dapat mengurangi rasa kemelekatan terhadap sesuatu yang menjadi milik kita. Dana juga dikenal dengan istilah danamaya yang berarti suatu kehendak yang baik yang patut ditimbulkan untuk mengikis lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan kemelekatan terhadap harta duniawi yang berupa sumbangan dana atau sumbangan kepada yang pautut menerima (S, Sagatha vagga :18)
Perbuatan beramal dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang
dikakukan oleh seseorang dengan memberikan sebagian dari harta miliknya
dengan tanpa mengharapkan imbalan baik berupa meteri maupun bukan materi
kepada orang yang membutuhkan seperti korban bencana alam, fakir
miskin, para pengemis atau panti-panti dan badan sosial lainnya
(Angutara Nikaya, catukka Nipata : 62 )”.
Bagi kebanyakan orang beranggapan bahwa mengumpulkan kekayaannya dengan susah payah, akan merasa berat jika harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk berdana, karena mereka berpikir bahwa harta yang mereka peroleh adalah dengan susah payah. Prinsip ini membuat seseorang menjadi kikir, egois, dan tidak peduli terhadap penderitaan orang lain. Sebagian orang kaya, selalu menginginkan agar hartanya bertambah terus dengan perasaan serakah. Ia dihinggapi perasaan takut jika suatu saat nanti kehilangan hartanya. Ia selalu memikirkan bagaimana hartanya nanti, tetapi lupa untuk berdana. Ia tidak mengetahui bahwa kekayaan yang ia miliki itu adalah hasil dari berdana pada kehidupannya yang lampau.
Demikian pada orang miskin, yang setiap hari selalu memikirkan bagaimana caranya agar memiliki uang yang banyak. Terkadang mereka menggunakan cara-cara yang melanggar sila untuk mendapatkan kekayaan. Hal ini disebabkan karena pada kehidupan yang lampau mereka kurang berdana. Dengan demikian, berdana adalah hal yang penting dan bermanfaat untuk dilakukan. Berdana merupakan salah satu dari sepuluh perbuatan baik dalam agama Buddha (Dasa Paramita). Berdana mendapatkan urutan pertama dalam Dasa Paramita. Dana adalah sifat yang harus dikembangkan terlebih dahulu sebelum melaksanakan 9 sifat yang lainnya. Berdana ibarat sebuah fondasi yang kokoh dalam membangun sebuah rumah.
Berdana merupakan sebuah ladang yang baik untuk menanam karma baik. Dengan berdana maka sifat-sifat buruk, seperti egois, serakah, konsumerisme, materialistis akan dapat berkurang. Dengan berkurangnya sifat buruk tersebut, maka hidup kita akan lebih bahagia. Salah satu cara melakukan karma baik adalah dengan berdana.
Kenyataan-kenyataan seperti ini masih sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, kurangnya pengertian tentang berdana membuat seseorang untuk lebih cenderung bersifat serakah. Sang Buddha menjelaskan mengenai akibat dari kurang berdana tang terdapat dalam Parabhava Sutta yaitu “orang yang berada dalam keadaan makmur, tetapi tidak menyokong ibu atau ayahnya yang telah tua dan lemah inilah sebab penderitaan. Orang yang memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah (emas dan makanan), namun ia hanya memakainya untuk dirinya sendiri tanpa membagikannya pada orang lain (yang membutuhkan), inilah sebab penderitaaan”.(Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipata 18 )
Jadi apabila seseorang yang memeliki kekayaan secara melimpah, mempunyai banyak harta, tetapi menggunakan kekayaanya sendiri, dipergunakan untuk memenuhi kebutuhannya atau berfoya-foya, mabuk-mabukan, berjudi. Tanpa memikirkan penderitaan orang lain dan tidak mau berdana. Maka dalam kehidupan yang akan datang akan menderita atau terlahir menjadi orang yang miskin.
5. Berbohong
Menurut Agama Buddha berbohong merupakan pelanggaran sila, terutama sila keempat pancasila Buddhis yang menyatakan saya berjanji untuk melatih diri untuk tidak berbuhong. Apabila dalam kehidupan sekarang ini manusia selalu melanggar sila khususnya sila yang keempat ini maka akan berakibat pada kehidupan yang akan datang tidak akan dipercaya oleh orang lain. Selain itu apabila seseorang sering berbohong, dalam segala hal maka akan berakibat pada kemerosotan atau kehancuran seseorang dalam parabhava sutta telah dijelaskan bahwa:”Barang siapa menipu dengan mendustai pada seorang brahmana atau pertapa atau orang suci lainnya, inilah sebab musabab dari kemerosotan”. (Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipata 18 )
Bagi kebanyakan orang beranggapan bahwa mengumpulkan kekayaannya dengan susah payah, akan merasa berat jika harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk berdana, karena mereka berpikir bahwa harta yang mereka peroleh adalah dengan susah payah. Prinsip ini membuat seseorang menjadi kikir, egois, dan tidak peduli terhadap penderitaan orang lain. Sebagian orang kaya, selalu menginginkan agar hartanya bertambah terus dengan perasaan serakah. Ia dihinggapi perasaan takut jika suatu saat nanti kehilangan hartanya. Ia selalu memikirkan bagaimana hartanya nanti, tetapi lupa untuk berdana. Ia tidak mengetahui bahwa kekayaan yang ia miliki itu adalah hasil dari berdana pada kehidupannya yang lampau.
Demikian pada orang miskin, yang setiap hari selalu memikirkan bagaimana caranya agar memiliki uang yang banyak. Terkadang mereka menggunakan cara-cara yang melanggar sila untuk mendapatkan kekayaan. Hal ini disebabkan karena pada kehidupan yang lampau mereka kurang berdana. Dengan demikian, berdana adalah hal yang penting dan bermanfaat untuk dilakukan. Berdana merupakan salah satu dari sepuluh perbuatan baik dalam agama Buddha (Dasa Paramita). Berdana mendapatkan urutan pertama dalam Dasa Paramita. Dana adalah sifat yang harus dikembangkan terlebih dahulu sebelum melaksanakan 9 sifat yang lainnya. Berdana ibarat sebuah fondasi yang kokoh dalam membangun sebuah rumah.
Berdana merupakan sebuah ladang yang baik untuk menanam karma baik. Dengan berdana maka sifat-sifat buruk, seperti egois, serakah, konsumerisme, materialistis akan dapat berkurang. Dengan berkurangnya sifat buruk tersebut, maka hidup kita akan lebih bahagia. Salah satu cara melakukan karma baik adalah dengan berdana.
Kenyataan-kenyataan seperti ini masih sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, kurangnya pengertian tentang berdana membuat seseorang untuk lebih cenderung bersifat serakah. Sang Buddha menjelaskan mengenai akibat dari kurang berdana tang terdapat dalam Parabhava Sutta yaitu “orang yang berada dalam keadaan makmur, tetapi tidak menyokong ibu atau ayahnya yang telah tua dan lemah inilah sebab penderitaan. Orang yang memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah (emas dan makanan), namun ia hanya memakainya untuk dirinya sendiri tanpa membagikannya pada orang lain (yang membutuhkan), inilah sebab penderitaaan”.(Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipata 18 )
Jadi apabila seseorang yang memeliki kekayaan secara melimpah, mempunyai banyak harta, tetapi menggunakan kekayaanya sendiri, dipergunakan untuk memenuhi kebutuhannya atau berfoya-foya, mabuk-mabukan, berjudi. Tanpa memikirkan penderitaan orang lain dan tidak mau berdana. Maka dalam kehidupan yang akan datang akan menderita atau terlahir menjadi orang yang miskin.
5. Berbohong
Menurut Agama Buddha berbohong merupakan pelanggaran sila, terutama sila keempat pancasila Buddhis yang menyatakan saya berjanji untuk melatih diri untuk tidak berbuhong. Apabila dalam kehidupan sekarang ini manusia selalu melanggar sila khususnya sila yang keempat ini maka akan berakibat pada kehidupan yang akan datang tidak akan dipercaya oleh orang lain. Selain itu apabila seseorang sering berbohong, dalam segala hal maka akan berakibat pada kemerosotan atau kehancuran seseorang dalam parabhava sutta telah dijelaskan bahwa:”Barang siapa menipu dengan mendustai pada seorang brahmana atau pertapa atau orang suci lainnya, inilah sebab musabab dari kemerosotan”. (Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipata 18 )
6. Kesombongan
Seseorang yang terlahir dalam keluarga yang mempunyai kekayaan yang melimpah-ruah, merupakan sebuah kebahagiaan, sebuah prestasi tersendiri bagi pemilik kekayaan, tetapi kekayaan yang dimiliki tidak boleh digunakan sebagai kesombongan sehingga orang yang memiliki kekayaan tidak mau bergaul dengan yang miskin, mereka beranggapan tidak sederajat apabila bergaul dengan orang miskin.
Seseorang yang memiliki kekayaan seharusnya di pergunakan untuk membantu orang-orang yang tidak mampu atau orang miskin. Sang Buddha mengatakan bahwa: ” Orang yang menyombongkan kelahirannya, kekayaan dan keluarganya, merendahkan sanak keluarga sendiri inilah sebab musabab dari kemerosotan”. (Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipata 18 ). Sehingga apabila seseorang dalam kehidupan sekarang ini bersikap sombong dengan apa yang telah dimiliki akan menjadikan kehancuran seseorang atau runtuhnya seseorang.
Seseorang yang terlahir dalam keluarga yang mempunyai kekayaan yang melimpah-ruah, merupakan sebuah kebahagiaan, sebuah prestasi tersendiri bagi pemilik kekayaan, tetapi kekayaan yang dimiliki tidak boleh digunakan sebagai kesombongan sehingga orang yang memiliki kekayaan tidak mau bergaul dengan yang miskin, mereka beranggapan tidak sederajat apabila bergaul dengan orang miskin.
Seseorang yang memiliki kekayaan seharusnya di pergunakan untuk membantu orang-orang yang tidak mampu atau orang miskin. Sang Buddha mengatakan bahwa: ” Orang yang menyombongkan kelahirannya, kekayaan dan keluarganya, merendahkan sanak keluarga sendiri inilah sebab musabab dari kemerosotan”. (Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipata 18 ). Sehingga apabila seseorang dalam kehidupan sekarang ini bersikap sombong dengan apa yang telah dimiliki akan menjadikan kehancuran seseorang atau runtuhnya seseorang.
7. Ketidakpuasan
Agama Buddha menyebut hawa nafsu keinginan sebagai tanha. Tanha juga dapat diartikan sebagai rasa tidak puas, ataupun rasa kehausan terhadap sesuatu. Sebagi contoh apabila seseorang merasakan makanan yang enak, lezat tentunya orang tersebut berkeinginan untuk menambah makanan tersebut, sebagai contoh lain apabila seseorang mempunyai keinginan untuk membeli sepeda motor yang bagus, yang semua orang belum memiliki, setelah keinginan itu terpenuhi maka orang tersebut timbul keinginan lagi untuk mempunyai atau membeli sebuah mobil.
Manusia tidak menyadari bahwa dirinya tidak akan terpuaskan, dengan apa yang telah mereka peroleh. Hal itu dikarenakan keinginan akan timbul lagi setelah seseorang mampu memenuhi keinginannya. Dalam Parabhava Sutta disebutkan “barang siapa mempunyai sedikit kekayaan, tetapi bernafsu besar, terlahir dalam keluarga ksatria, dan mengidam-idamkan untuk menjadi raja, inilah sebab musabab kemerosotan. Barang siapa tidak puas dengan istrinya sendiri, terlihat bersama-sama dengan pelacur dan istri-istri orang lain, inilah sebab musabab dari kemerosotan”.
Dampak Konsumerisme
Dampak dari konsumerisme ini akan memberikan akibat bagi para manusia yang berprilaku konsumerisme atau hidup berfoya-foya. Menurut Dhammananda prilaku konsumerisme akan berakibat sebagai berikut:
1. Menurunnya Nilai Kemoralan
Perbuatan manusia semakin hari menunjukkan penurunan dalam melakukan perbuatan baik. Sesuai dengan yang diajarkan oleh sang Buddha, memang segala sesuatu tidak kekal adanya, demikian juga dengan tingkah laku atau perbuatan manusia, senantiasa mengalami perubahan, baik kearah posif dan negatif.
Menurunnya nilai-nilai moral manusia ditandai dengan semakin jauhnya praktek ajaran agama. Merosotnya keyakinan manusia terhadap ajaran agama atau religius menyebabkan perbuatan manusia semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran. Bersama dengan merosotnya kepercayaan religius membawa, dampak kemorosotan moralitas. Terlihat hampir diseluruh dunia terjadi peningkatan kejahatan, peningkatan kenakalan remaja, usaha pelanggaran yang semakin meninggkat terhadap penyelesaian persoalan ekonomi dan politik dalam negeri, kemerosotan dalam otoritas dan disiplin” (Henry Hazlitt,2003: 21).
Perbuatan manusia yang cenderung memprihatinkan, secara umum tindakan kriminalitas dan kejahatan telah menunjukkan peningkatan. Dapat dilihat melalui data yang telah ditulis oleh para peneliti, seperti yang ditulis oleh Hisham Harum di The New Straits Time, 5 mei 1997:
Statistik polisi mengungkapkan bahwa pada tahun 1994, jumlah pelaku kriminal yang dilakukan karena ketergantungan obat, pemerkosaan, hubungan intim yang tidak semestinya, pembobolan rumah, dan pencurian adalah sebanyak 4192. dari angka ini terdapat 1.893 laki-laki dan 23 perempuan dari etnis melayu, 590 laki-laki dan 18 perempuan dari etnis cina. Dan 421 lai-laki dan 10 perempuan dari etnis india. Sedangkan pada tahun berikutnya jumlah pelanggar dari etnis melayu naik menjadi 2.402, sedangkan dari etnis china menjadi 922 dan 507 dari etnis india. Angka tahun 1996 adalah 2890 dari etnis melayu dan 770m dari etnis china (menunjukkan penurunan), 574 dari etnis india (Dhammananda, 2003: 189).
Dalam Dhigha Nikaya, Patika Vagga, Sigalovada Sutta disebutkan ada empat yang menyebabkan seseorang bisa terdorong untuk melakukan kejahatan atau perbuatan jahat: ” keinginan, kebencian, ketakutan, dan kebodohan”. Hal-hal inilah yang dapat menjadikan seseorang untuk melakukan perbuatan yang jahat yang dapat merugikan diri sendiri maupu orang lain.
Terjadinya kemerosotan moral secara umum telah tercermin dalam berbagai bidang, seperti bidang sosial, politik, budaya, ekonomi dan masih banyak baidang bidang yang lainnya. Dalam kaitannya dengan prilaku konsumerisme yang menjadi sebab kemerosotan moral adalah dalam bidang ekonomi. Bagi kebanyakan manusia mempunyai kekayaan, mempunyai barang-barang yang bagus, dan indah merupakan kebahagiaan, yang didambakan oleh setiap manusia. Hal itu dikarenakan dengan barang-barang tersebut dapat menaikan derajat atau strata sosial dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi tentu saja dalam memperoleh kekayaan atau barang yang diinginkan dengan jalan yang benar. Karena tidak jarang seseorang rela merampok, mencuri demi memperoleh barang yang diinginkan.
Setiap manusia memiliki keinginan, segala tindakan atau tingkah laku pasti didasari keinginan. Keinginan yang dapat menyebabkan kemerosotan moral adalah keinginan yang didasarkan keinginan nafsu yang didasari oleh keserakahan, karena keinginan terhadap sesuatu yang tidak didasari oleh kemampuan akan mempengarahi tindakan dan perbuatan. Contohnya ada orang berkeinginan memiliki sepeda motor dan uang banyak, tetapi ia tidak memeliki uang untuk membeli sepeda motor karena penghasilannya hanya cukup untuk dimakan satu hari itu saja, tetapi keinginan untuk memiliki sepeda motor tidak dapat dikendalikan, akhirnya untuk memenuhi keinginannya ia nekat mencuri sepeda motor oarang lain. Dari contoh di atas sudah jelas bahwa yang mendasari perbuatan seseorang adalah keinginan.
Tingkah laku manusia yang semakin brutal dan tidak sesuai dengan kemoralan, menyebabkan ajaran kebenaran atau ajaran agama ditinggalkan. Orang yang melakukan perbuatan jahat hanya berdasarkan keinginan nafsu, mengejar keinginan atau kenikatan duniawi yang dilakukan dengan berbagai usaha adalah tidak benar. Maka hendaknya seseorang berbuat harus sesuai dengan norma yang berlaku, sesuai dengan nilai kemoralan maka akan dapat hidup harmonis dan bahagia dalam dunia ini tanpa adanya kekerasan.
2. Hilangnya Kekayaan Secara Nyata
Harta kekayaan yang tidak akan dapat dipertahankan dalam waktu yang lama apabila pemiliknya tidak hati-hati. Dan dalam Anguttara Nikaya di uraikan bahwa” Seseorang tidak mencari dan menambah miliknya yang hilang, seseorang tidak memperbaiki miliknya yang rusak, seseorang tidak bersikap sedang (secukupnya), dan memiliki teman yang bermoral buruk untuk membantu rumah tangganya”. (Wowor, 2004: 90).
Sangat jelas sekali apabila seseorang selalu menuruti keinginannya untuk memenuhi keinginannya terhadap barang atau benda yang dinginkan atau seseorang dalam kehidupannya selalu hidup berfoya-foya, misalnya berjudi, mabuk-mabukan, sering pergi ketempat-tempat yang tidak pantas, atau selalu mencari keramaian, tanpa berfikir untuk mencari kekayaan, maka harta yang dimilikinya akan cepat hilang atau habis.
Sumber: http://larosberbagibersama.blogspot.co.id
Agama Buddha menyebut hawa nafsu keinginan sebagai tanha. Tanha juga dapat diartikan sebagai rasa tidak puas, ataupun rasa kehausan terhadap sesuatu. Sebagi contoh apabila seseorang merasakan makanan yang enak, lezat tentunya orang tersebut berkeinginan untuk menambah makanan tersebut, sebagai contoh lain apabila seseorang mempunyai keinginan untuk membeli sepeda motor yang bagus, yang semua orang belum memiliki, setelah keinginan itu terpenuhi maka orang tersebut timbul keinginan lagi untuk mempunyai atau membeli sebuah mobil.
Manusia tidak menyadari bahwa dirinya tidak akan terpuaskan, dengan apa yang telah mereka peroleh. Hal itu dikarenakan keinginan akan timbul lagi setelah seseorang mampu memenuhi keinginannya. Dalam Parabhava Sutta disebutkan “barang siapa mempunyai sedikit kekayaan, tetapi bernafsu besar, terlahir dalam keluarga ksatria, dan mengidam-idamkan untuk menjadi raja, inilah sebab musabab kemerosotan. Barang siapa tidak puas dengan istrinya sendiri, terlihat bersama-sama dengan pelacur dan istri-istri orang lain, inilah sebab musabab dari kemerosotan”.
Dampak Konsumerisme
Dampak dari konsumerisme ini akan memberikan akibat bagi para manusia yang berprilaku konsumerisme atau hidup berfoya-foya. Menurut Dhammananda prilaku konsumerisme akan berakibat sebagai berikut:
1. Menurunnya Nilai Kemoralan
Perbuatan manusia semakin hari menunjukkan penurunan dalam melakukan perbuatan baik. Sesuai dengan yang diajarkan oleh sang Buddha, memang segala sesuatu tidak kekal adanya, demikian juga dengan tingkah laku atau perbuatan manusia, senantiasa mengalami perubahan, baik kearah posif dan negatif.
Menurunnya nilai-nilai moral manusia ditandai dengan semakin jauhnya praktek ajaran agama. Merosotnya keyakinan manusia terhadap ajaran agama atau religius menyebabkan perbuatan manusia semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran. Bersama dengan merosotnya kepercayaan religius membawa, dampak kemorosotan moralitas. Terlihat hampir diseluruh dunia terjadi peningkatan kejahatan, peningkatan kenakalan remaja, usaha pelanggaran yang semakin meninggkat terhadap penyelesaian persoalan ekonomi dan politik dalam negeri, kemerosotan dalam otoritas dan disiplin” (Henry Hazlitt,2003: 21).
Perbuatan manusia yang cenderung memprihatinkan, secara umum tindakan kriminalitas dan kejahatan telah menunjukkan peningkatan. Dapat dilihat melalui data yang telah ditulis oleh para peneliti, seperti yang ditulis oleh Hisham Harum di The New Straits Time, 5 mei 1997:
Statistik polisi mengungkapkan bahwa pada tahun 1994, jumlah pelaku kriminal yang dilakukan karena ketergantungan obat, pemerkosaan, hubungan intim yang tidak semestinya, pembobolan rumah, dan pencurian adalah sebanyak 4192. dari angka ini terdapat 1.893 laki-laki dan 23 perempuan dari etnis melayu, 590 laki-laki dan 18 perempuan dari etnis cina. Dan 421 lai-laki dan 10 perempuan dari etnis india. Sedangkan pada tahun berikutnya jumlah pelanggar dari etnis melayu naik menjadi 2.402, sedangkan dari etnis china menjadi 922 dan 507 dari etnis india. Angka tahun 1996 adalah 2890 dari etnis melayu dan 770m dari etnis china (menunjukkan penurunan), 574 dari etnis india (Dhammananda, 2003: 189).
Dalam Dhigha Nikaya, Patika Vagga, Sigalovada Sutta disebutkan ada empat yang menyebabkan seseorang bisa terdorong untuk melakukan kejahatan atau perbuatan jahat: ” keinginan, kebencian, ketakutan, dan kebodohan”. Hal-hal inilah yang dapat menjadikan seseorang untuk melakukan perbuatan yang jahat yang dapat merugikan diri sendiri maupu orang lain.
Terjadinya kemerosotan moral secara umum telah tercermin dalam berbagai bidang, seperti bidang sosial, politik, budaya, ekonomi dan masih banyak baidang bidang yang lainnya. Dalam kaitannya dengan prilaku konsumerisme yang menjadi sebab kemerosotan moral adalah dalam bidang ekonomi. Bagi kebanyakan manusia mempunyai kekayaan, mempunyai barang-barang yang bagus, dan indah merupakan kebahagiaan, yang didambakan oleh setiap manusia. Hal itu dikarenakan dengan barang-barang tersebut dapat menaikan derajat atau strata sosial dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi tentu saja dalam memperoleh kekayaan atau barang yang diinginkan dengan jalan yang benar. Karena tidak jarang seseorang rela merampok, mencuri demi memperoleh barang yang diinginkan.
Setiap manusia memiliki keinginan, segala tindakan atau tingkah laku pasti didasari keinginan. Keinginan yang dapat menyebabkan kemerosotan moral adalah keinginan yang didasarkan keinginan nafsu yang didasari oleh keserakahan, karena keinginan terhadap sesuatu yang tidak didasari oleh kemampuan akan mempengarahi tindakan dan perbuatan. Contohnya ada orang berkeinginan memiliki sepeda motor dan uang banyak, tetapi ia tidak memeliki uang untuk membeli sepeda motor karena penghasilannya hanya cukup untuk dimakan satu hari itu saja, tetapi keinginan untuk memiliki sepeda motor tidak dapat dikendalikan, akhirnya untuk memenuhi keinginannya ia nekat mencuri sepeda motor oarang lain. Dari contoh di atas sudah jelas bahwa yang mendasari perbuatan seseorang adalah keinginan.
Tingkah laku manusia yang semakin brutal dan tidak sesuai dengan kemoralan, menyebabkan ajaran kebenaran atau ajaran agama ditinggalkan. Orang yang melakukan perbuatan jahat hanya berdasarkan keinginan nafsu, mengejar keinginan atau kenikatan duniawi yang dilakukan dengan berbagai usaha adalah tidak benar. Maka hendaknya seseorang berbuat harus sesuai dengan norma yang berlaku, sesuai dengan nilai kemoralan maka akan dapat hidup harmonis dan bahagia dalam dunia ini tanpa adanya kekerasan.
2. Hilangnya Kekayaan Secara Nyata
Harta kekayaan yang tidak akan dapat dipertahankan dalam waktu yang lama apabila pemiliknya tidak hati-hati. Dan dalam Anguttara Nikaya di uraikan bahwa” Seseorang tidak mencari dan menambah miliknya yang hilang, seseorang tidak memperbaiki miliknya yang rusak, seseorang tidak bersikap sedang (secukupnya), dan memiliki teman yang bermoral buruk untuk membantu rumah tangganya”. (Wowor, 2004: 90).
Sangat jelas sekali apabila seseorang selalu menuruti keinginannya untuk memenuhi keinginannya terhadap barang atau benda yang dinginkan atau seseorang dalam kehidupannya selalu hidup berfoya-foya, misalnya berjudi, mabuk-mabukan, sering pergi ketempat-tempat yang tidak pantas, atau selalu mencari keramaian, tanpa berfikir untuk mencari kekayaan, maka harta yang dimilikinya akan cepat hilang atau habis.
Sumber: http://larosberbagibersama.blogspot.co.id
0 komentar:
Posting Komentar