Kamis, 14 April 2016

Demokrasi dalam Perspektif Buddhis


Agama Buddha tidak didasarkan pada otoritas. Pendekatannya bersifat demokratis. Buddha mendobrak sistem kasta yang sarat dengan diskriminasi, dan membuka pintu ordo yang disebut sangha bagi semua orang, tanpa memandang kasta dan kedudukan sosialnya (Huston Smith, 1985). Bisa jadi sangha adalah lembaga demokratis yang tertua di dunia, umurnya sekarang hampir dua puluh enam abad. Buddha menetapkan peraturan (winaya) bagi anggota sangha, bahkan memperbaiknya, dengan mempertimbangkan opini masyarakat. Ketika menolak permohonan Ratu Prajapati yang ingin ditahbiskan menjadi biksuni, Buddha mengantisipasi reaksi masyarakat yang akan timbul terhadap perubahan nasib kaum perempuan. Perempuan di zaman itu tidak memiliki kebebasan dan diperlakukan secara tidak adil, bahkan dianggap mengotori kesucian. Ia membiarkan sekitar lima ratus orang perempuan melakukan long-march berunjuk rasa. Setelah mendapatkan simpati dan respons yang positif dari masyarakat, Buddha menyetujui untuk menahbiskan perempuan dan membentuk sangha biksuni.
Demo bukan hal yang asing bagi pengikut Buddha. Ketika sejumlah biksu mendukung aksi di KPU, atau ketika mendampingi demo anti Buddha Bar, sempat terjadi pro dan kontra. Banyak umat berpendapat bahwa para biksu seharusnya menyingkir dari keduniawian. Di Thailand, aksi massa sudah terbiasa melibatkan kelompok biksu untuk berdoa dan memberkati. Di Tibet para lama atau biksu berulang kali melakukan unjuk rasa dan menghadapi penindasan. Pandangan hidup dan praktik yang mempertahankan cara-cara damai, tanpa kekerasan mendapatkan simpati dunia dan Dalai Lama menerima penghargaan Hadiah Nobel Perdamaian. Begitu pula dengan penerima Hadiah Nobel lainnya, Aung San Suu Kyi. Sungguhpun partainya menang dalam pemilihan umum (1990) ia tidak diberi kesempatan memimpin, bahkan dikenakan tahanan rumah oleh junta militer. Walau tak berhasil, para biksu di Myanmar pernah ramai-ramai turun  ke jalan menentang kezaliman rezim penguasa.
Di Vietnam biksu-biksuni menggunakan berbagai cara yang disebut sebagai kekuatan spiritual. Gagal dengan melobi, menulis, berdoa bersama, sampai berdemo, mereka mogok makan dan bakar diri untuk membangkitkan kesadaran dan belas kasih. Membakar diri adalah sebuah bentuk pengorbanan untuk menjadi pelita di kegelapan. Salah satunya seorang biksuni, Nhat Chi Mai (1966) membakar dirinya di wihara dengan meninggalkan surat untuk presiden Vietnam Utara dan Selatan, memohon agar perang dihentikan. Tindakan itu menggerakkan hati jutaan rakyat dan membangkitkan kekuatan cinta dari seluruh dunia. 
Egalitarianisme dijelaskan oleh Buddha dengan menunjukkan bahwa berbeda dari binatang dan tumbuh-tumbuhan yang beragam spesies, semua manusia merupakan satu spesies yang sama. Martabat dan derajatnya sama. Manusia tidak pantas digolongkan berdasar keturunan, tetapi bisa digolongkan menurut apa yang dia lakukan (Sn. 594-656). Pada semua kasta dapat ditemukan orang yang berbuat jahat dan berpandangan sesat ataupun orang yang berbuat baik dan berpandangan benar (D. III, 82-83). Hukum alam termasuk karma bekerja dengan cara yang sama bagi semua orang. Setiap orang merupakan sasaran penderitaan, penyakit dan kematian, artinya menghadapi masalah kemanusiaan yang sama. Karena itu setiap manusia memiliki hak yang sama untuk mengakhiri penderitaan dan mencapai kebahagiaan. Semua manusia tanpa kecuali memiliki potensi dan bisa menjadi Buddha. 
Respek pada Hak Asasi Manusia menyangkut persamaan hak dan kebebasan bagi setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri. Tidak ada tuan dan budak. Setiap orang adalah tuan bagi dirinya sendiri (Dhp. 380). Namun Buddha menolak keakuan, dan menyatakan bahwa tidak ada ego yang berdiri sendiri (Dhp. 279). Segala sesuatu saling bergantungan, saling mengada (interbeing). Saling pengertian dibangun dengan mengumpamakan orang lain dengan diri sendiri dan sebaliknya (Dhp. 130). Pemikiran ini menghadirkan kesadaran untuk menghargai dan mencintai semua bentuk kehidupan seperti halnya mencintai diri sendiri. Penderitaan orang lain juga menjadi penderitaan diri sendiri, sehingga timbul belas kasih dan kesediaan untuk berkorban.  
Sekalipun memiliki semangat misioner, agama Buddha memberi kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih dan menentukan pendiriannya sendiri. Keyakinan tidak boleh dipaksakan, yang penting adalah kebaikan demi mengatasi penderitaan (D. III, 56-57). Demokrasi hanya dimungkinkan jika ada kebebasan berpikir, bukan persoalan iman. Segala sesuatu dibentuk oleh pikiran (Dhp. 1). Bahkan terhadap ajaran Buddha sendiri umat dianjurkan untuk tidak lekas percaya, melainkan harus bersikap kritis dan objektif. Jika terbukti tidak benar dan tidak berguna, tentu harus ditolak (A. I. 188-192). Apa yang diajarkan oleh Buddha bersifat terbuka dan menghargai keterbukaan (D. II, 100). Buddha mematahkan otoritas dan monopoli seseorang atau segolongan orang atas kebenaran (M. II, 171). Ia menghargai pluralisme. Karena mempertimbangkan kebinekaan, Buddha mengajar dengan bermacam-macam metode. Toleransi yang bersifat positif menjadi sebuah kebutuhan. Orang yang berbuat bajik dan bersikap menyenangkan harus dilayani dan dihormati, kendati mungkin pendapatnya berbeda (A. I, 127).  
Pengambilan keputusan bersama, kemerdekaan mengeluarkan pendapat (Vin. I, 115), serta memberi kesempatan bagi perbedaan pendapat dan kritik (D. I, 3) tidak asing bagi pengikut Buddha. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan negara, pandangan ini memberi tempat bagi oposisi, dan mendasari apa yang disebut sebagai persamuhan, permusyawaratan dan kemufakatan. Untuk menyatukan kepentingan berbagai kelompok tentu perlu kesepakatan-kesepakatan yang kompromistis dan pragmatis tanpa menyimpang dari kebenaran. Buddha juga menerapkan prinsip desentralisasi dan pendelegasian wewenang sebagaimana halnya mengizinkan para murid-Nya untuk menahbiskan sendiri biksu baru di mana saja (Vin. I, 22). 
 Pemikiran di atas jelas tidak cocok dengan pemerintahan autokrasi atau diktator dan feodal. Menurut Piyadassi, demokrasi politik non-Barat pertama kali terbentuk di India dua setengah abad yang lalu, di desa yang disebut ”Panchayat”. Beberapa di antaranya berkembang di bawah pengaruh agama Buddha. Di zaman Buddha sudah dikenal sistem pemerintah semacam republik. Misalnya Licchavi (kaum Vajji) yang diperintah oleh senat para sesepuh. Namun kebanyakan negara bersifat feodal, dan kerajaan-kerajaan Buddhis menempatkan raja sebagai dewa-raja dengan kekuasaaan yang nyaris absolut. Buddha memang tidak melakukan intervensi dalam masalah politik untuk mengubah bentuk suatu pemerintahan. Belakangan pengaruh Barat telah menghadirkan demokrasi di negara-negara Buddhis sehingga monarki berubah menjadi republik, atau setidak-tidaknya monarki konstitusional. 

Menurut Agganna-sutta fenomena demokrasi dan kedaulatan di tangan rakyat dapat diikuti dari sejarah lahirnya suatu kontrak sosial untuk membentuk pemerintahan. Pada mulanya manusia dilahirkan tanpa perbedaan kedudukan. Masing-masing dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi kehidupan yang damai mulai terganggu ketika manusia yang serakah mencuri, yang licik menipu, yang kuat menindas yang lemah. Masyarakat memilih salah seorang di antaranya untuk mengadili orang-orang yang bersalah dan membayar jasanya dengan sebagian dari hasil ladangnya. Penguasa itu dipilih oleh orang banyak, diangkat melalui persetujuan rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya penguasa disebut kesatria karena ia berkuasa atas tanah pertanian yang merupakan tanah negara. Dan disebut raja, karena ia dicintai rakyat mengingat kepatuhannya menjalankan kebajikan, hukum dan keadilan (D. III, 92-93). 
Penguasa mendapat mandat untuk bekerja memenuhi kepentingan rakyat. Kekuasaan dimiliki hanya dalam rangka memenuhi kewajibannya. Pandangan ini tidaklah menobatkan seorang penguasa dengan hak Ilahi sehingga ia dapat memerintah dengan sesuka hati. Penguasa harus tunduk pada kehendak rakyat, persis sebagaimana konsep politik modern yang memandang suara rakyat adalah suara Tuhan. Hanya saja kekuasaan sering memanfaatkan agama untuk legitimasi sehingga para raja disamakan dengan dewa atau putra Tuhan. Kekuasaan juga sarat dengan nopotisme, menempatkan sanak keluarga pada posisi elite. Sekali menjadi penguasa, seorang raja meneruskan kekuasaan atau mengucurkan kekayaan kepada keturunannya. Pengakuan atas golongan penguasa yang berlanjut turun-temurun (atau yang terlalu lama berkuasa) membuat penguasa mudah lupa bahwa jabatannya itu datang karena kewajiban, bukan hak. 
Pemikiran Buddhis menginginkan negara kesejahteraan, bukan negara kekuasaan. Kewibawaan pemerintah, kedaulatan dan ketahanan suatu bangsa atau negara sangat tergantung pada kesejahteraan rakyatnya.  Buddha mengemukakan tujuh syarat kesejahteraan negara tersebut (D. II, 74-75) adalah: 
  1.  Sering mengadakan pertemuan dan permusyawaratan yang mengikutsertakan orang banyak (menjalankan apa yang sekarang ini kita sebut demokrasi)
  2. Berhimpun dengan rukun, berkembang dengan rukun, mencapai mufakat dan menyelesaikan segala sesuatunya dengan rukun. 
  3. Menjunjung konstitusi yang berlaku, tidak memberlakukan apa yang belum diundangkan, tidak juga mengabaikan apa yang telah diundangkan. 
  4. Menghormati dan menyokong para sesepuh atau pemimpin, juga memperhatikan amanat mereka. 
  5. Melindungi dan menghormati kedudukan wanita (atau pihak yang lemah). 
  6. Memelihara dan tidak mengabaikan kewajiban agama.
  7. Melindungi orang-orang suci dan bijaksana.
Demokrasi ditempatkan dalam urutan pertama. Demokrasi merupakan Buddha sedangkan konstitusionalisme merupakan Bodhisattwa, demikian tulis Tokusuke (Nakae Chomin, 1989). Bodhisattwa adalah calon Buddha. Konstitusionalisme patut dihormati, demokrasi patut dicintai. Konstitusionalisme sekadar penginapan yang pada akhirnya harus ditinggalkan, sedangkan demokrasi merupakan rumah terakhir. Kenapa? Karena rakyat yang berkuasa lewat demokrasi.
Demokratisasi tidak hanya menyangkut sistem pemerintahan, ideologi dan politik, tetapi juga sistem lain, seperti hukum, ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya. Pemantapan hukum  harus diikuti komitmen dari para pemimpin dan birokrat untuk tidak melanggar hukum dalam kondisi apa pun, bersikap adil dan menghormati hak asasi manusia. Pertumbuhan ekonomi diarahkan untuk melenyapkan kemiskinan dan menjamin agar setiap orang hidup puas dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya. Sistem kemasyarakatan memberi akses menuju sumber daya sosial yang terbuka bagi semua orang.

Sumber: http://www.buddhayana.or.id

0 komentar:

Posting Komentar