Agama Buddha tidak didasarkan pada otoritas. Pendekatannya bersifat
demokratis. Buddha mendobrak sistem kasta yang sarat dengan
diskriminasi, dan membuka pintu ordo yang disebut sangha bagi semua
orang, tanpa memandang kasta dan kedudukan sosialnya (Huston Smith,
1985). Bisa jadi sangha adalah lembaga demokratis yang tertua di dunia,
umurnya sekarang hampir dua puluh enam abad. Buddha menetapkan peraturan
(winaya) bagi anggota sangha, bahkan memperbaiknya, dengan
mempertimbangkan opini masyarakat. Ketika menolak permohonan Ratu
Prajapati yang ingin ditahbiskan menjadi biksuni, Buddha mengantisipasi
reaksi masyarakat yang akan timbul terhadap perubahan nasib kaum
perempuan. Perempuan di zaman itu tidak memiliki kebebasan dan
diperlakukan secara tidak adil, bahkan dianggap mengotori kesucian. Ia
membiarkan sekitar lima ratus orang perempuan melakukan long-march
berunjuk rasa. Setelah mendapatkan simpati dan respons yang positif dari
masyarakat, Buddha menyetujui untuk menahbiskan perempuan dan membentuk
sangha biksuni.
Demo bukan hal yang asing bagi pengikut Buddha. Ketika sejumlah biksu
mendukung aksi di KPU, atau ketika mendampingi demo anti Buddha Bar,
sempat terjadi pro dan kontra. Banyak umat berpendapat bahwa para biksu
seharusnya menyingkir dari keduniawian. Di Thailand, aksi massa sudah
terbiasa melibatkan kelompok biksu untuk berdoa dan memberkati. Di Tibet
para lama atau biksu berulang kali melakukan unjuk rasa dan menghadapi
penindasan. Pandangan hidup dan praktik yang mempertahankan cara-cara
damai, tanpa kekerasan mendapatkan simpati dunia dan Dalai Lama menerima
penghargaan Hadiah Nobel Perdamaian. Begitu pula dengan penerima Hadiah
Nobel lainnya, Aung San Suu Kyi. Sungguhpun partainya menang dalam
pemilihan umum (1990) ia tidak diberi kesempatan memimpin, bahkan
dikenakan tahanan rumah oleh junta militer. Walau tak berhasil, para
biksu di Myanmar pernah ramai-ramai turun ke jalan menentang kezaliman
rezim penguasa.
Di Vietnam biksu-biksuni menggunakan berbagai cara yang disebut
sebagai kekuatan spiritual. Gagal dengan melobi, menulis, berdoa
bersama, sampai berdemo, mereka mogok makan dan bakar diri untuk
membangkitkan kesadaran dan belas kasih. Membakar diri adalah sebuah
bentuk pengorbanan untuk menjadi pelita di kegelapan. Salah satunya
seorang biksuni, Nhat Chi Mai (1966) membakar dirinya di wihara dengan
meninggalkan surat untuk presiden Vietnam Utara dan Selatan, memohon
agar perang dihentikan. Tindakan itu menggerakkan hati jutaan rakyat dan
membangkitkan kekuatan cinta dari seluruh dunia.
Egalitarianisme dijelaskan oleh Buddha dengan menunjukkan bahwa
berbeda dari binatang dan tumbuh-tumbuhan yang beragam spesies, semua
manusia merupakan satu spesies yang sama. Martabat dan derajatnya sama.
Manusia tidak pantas digolongkan berdasar keturunan, tetapi bisa
digolongkan menurut apa yang dia lakukan (Sn. 594-656). Pada semua kasta
dapat ditemukan orang yang berbuat jahat dan berpandangan sesat ataupun
orang yang berbuat baik dan berpandangan benar (D. III, 82-83). Hukum
alam termasuk karma bekerja dengan cara yang sama bagi semua orang.
Setiap orang merupakan sasaran penderitaan, penyakit dan kematian,
artinya menghadapi masalah kemanusiaan yang sama. Karena itu setiap
manusia memiliki hak yang sama untuk mengakhiri penderitaan dan mencapai
kebahagiaan. Semua manusia tanpa kecuali memiliki potensi dan bisa
menjadi Buddha.
Respek pada Hak Asasi Manusia menyangkut persamaan hak dan kebebasan
bagi setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri. Tidak ada tuan dan
budak. Setiap orang adalah tuan bagi dirinya sendiri (Dhp. 380). Namun
Buddha menolak keakuan, dan menyatakan bahwa tidak ada ego yang berdiri
sendiri (Dhp. 279). Segala sesuatu saling bergantungan, saling mengada
(interbeing). Saling pengertian dibangun dengan mengumpamakan orang lain
dengan diri sendiri dan sebaliknya (Dhp. 130). Pemikiran ini
menghadirkan kesadaran untuk menghargai dan mencintai semua bentuk
kehidupan seperti halnya mencintai diri sendiri. Penderitaan orang lain
juga menjadi penderitaan diri sendiri, sehingga timbul belas kasih dan
kesediaan untuk berkorban.
Sekalipun memiliki semangat misioner, agama Buddha memberi kebebasan
kepada setiap manusia untuk memilih dan menentukan pendiriannya sendiri.
Keyakinan tidak boleh dipaksakan, yang penting adalah kebaikan demi
mengatasi penderitaan (D. III, 56-57). Demokrasi hanya dimungkinkan jika
ada kebebasan berpikir, bukan persoalan iman. Segala sesuatu dibentuk
oleh pikiran (Dhp. 1). Bahkan terhadap ajaran Buddha sendiri umat
dianjurkan untuk tidak lekas percaya, melainkan harus bersikap kritis
dan objektif. Jika terbukti tidak benar dan tidak berguna, tentu harus
ditolak (A. I. 188-192). Apa yang diajarkan oleh Buddha bersifat
terbuka dan menghargai keterbukaan (D. II, 100). Buddha mematahkan
otoritas dan monopoli seseorang atau segolongan orang atas kebenaran (M.
II, 171). Ia menghargai pluralisme. Karena mempertimbangkan kebinekaan,
Buddha mengajar dengan bermacam-macam metode. Toleransi yang bersifat
positif menjadi sebuah kebutuhan. Orang yang berbuat bajik dan bersikap
menyenangkan harus dilayani dan dihormati, kendati mungkin pendapatnya
berbeda (A. I, 127).
Pengambilan keputusan bersama, kemerdekaan mengeluarkan pendapat
(Vin. I, 115), serta memberi kesempatan bagi perbedaan pendapat dan
kritik (D. I, 3) tidak asing bagi pengikut Buddha. Dalam konteks
kehidupan berbangsa dan negara, pandangan ini memberi tempat bagi
oposisi, dan mendasari apa yang disebut sebagai persamuhan,
permusyawaratan dan kemufakatan. Untuk menyatukan kepentingan berbagai
kelompok tentu perlu kesepakatan-kesepakatan yang kompromistis dan
pragmatis tanpa menyimpang dari kebenaran. Buddha juga menerapkan
prinsip desentralisasi dan pendelegasian wewenang sebagaimana halnya
mengizinkan para murid-Nya untuk menahbiskan sendiri biksu baru di
mana saja (Vin. I, 22).
Pemikiran di atas jelas tidak cocok dengan pemerintahan autokrasi
atau diktator dan feodal. Menurut Piyadassi, demokrasi politik non-Barat
pertama kali terbentuk di India dua setengah abad yang lalu, di desa
yang disebut ”Panchayat”. Beberapa di antaranya berkembang di bawah
pengaruh agama Buddha. Di zaman Buddha sudah dikenal sistem pemerintah
semacam republik. Misalnya Licchavi (kaum Vajji) yang diperintah oleh
senat para sesepuh. Namun kebanyakan negara bersifat feodal, dan
kerajaan-kerajaan Buddhis menempatkan raja sebagai dewa-raja dengan
kekuasaaan yang nyaris absolut. Buddha memang tidak melakukan intervensi
dalam masalah politik untuk mengubah bentuk suatu pemerintahan.
Belakangan pengaruh Barat telah menghadirkan demokrasi di negara-negara
Buddhis sehingga monarki berubah menjadi republik, atau setidak-tidaknya
monarki konstitusional.
Menurut Agganna-sutta fenomena demokrasi dan kedaulatan di tangan
rakyat dapat diikuti dari sejarah lahirnya suatu kontrak sosial untuk
membentuk pemerintahan. Pada mulanya manusia dilahirkan tanpa perbedaan
kedudukan. Masing-masing dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi kehidupan yang damai mulai terganggu
ketika manusia yang serakah mencuri, yang licik menipu, yang kuat
menindas yang lemah. Masyarakat memilih salah seorang di antaranya
untuk mengadili orang-orang yang bersalah dan membayar jasanya dengan
sebagian dari hasil ladangnya. Penguasa itu dipilih oleh orang banyak,
diangkat melalui persetujuan rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya
penguasa disebut kesatria karena ia berkuasa atas tanah pertanian yang
merupakan tanah negara. Dan disebut raja, karena ia dicintai rakyat
mengingat kepatuhannya menjalankan kebajikan, hukum dan keadilan (D.
III, 92-93).
Penguasa mendapat mandat untuk bekerja memenuhi kepentingan rakyat.
Kekuasaan dimiliki hanya dalam rangka memenuhi kewajibannya. Pandangan
ini tidaklah menobatkan seorang penguasa dengan hak Ilahi sehingga ia
dapat memerintah dengan sesuka hati. Penguasa harus tunduk pada kehendak
rakyat, persis sebagaimana konsep politik modern yang memandang suara
rakyat adalah suara Tuhan. Hanya saja kekuasaan sering memanfaatkan
agama untuk legitimasi sehingga para raja disamakan dengan dewa atau
putra Tuhan. Kekuasaan juga sarat dengan nopotisme, menempatkan sanak
keluarga pada posisi elite. Sekali menjadi penguasa, seorang raja
meneruskan kekuasaan atau mengucurkan kekayaan kepada keturunannya.
Pengakuan atas golongan penguasa yang berlanjut turun-temurun (atau
yang terlalu lama berkuasa) membuat penguasa mudah lupa bahwa
jabatannya itu datang karena kewajiban, bukan hak.
Pemikiran Buddhis menginginkan negara kesejahteraan, bukan negara
kekuasaan. Kewibawaan pemerintah, kedaulatan dan ketahanan suatu bangsa
atau negara sangat tergantung pada kesejahteraan rakyatnya. Buddha
mengemukakan tujuh syarat kesejahteraan negara tersebut (D. II, 74-75)
adalah:
- Sering mengadakan pertemuan dan permusyawaratan yang mengikutsertakan orang banyak (menjalankan apa yang sekarang ini kita sebut demokrasi)
- Berhimpun dengan rukun, berkembang dengan rukun, mencapai mufakat dan menyelesaikan segala sesuatunya dengan rukun.
- Menjunjung konstitusi yang berlaku, tidak memberlakukan apa yang belum diundangkan, tidak juga mengabaikan apa yang telah diundangkan.
- Menghormati dan menyokong para sesepuh atau pemimpin, juga memperhatikan amanat mereka.
- Melindungi dan menghormati kedudukan wanita (atau pihak yang lemah).
- Memelihara dan tidak mengabaikan kewajiban agama.
- Melindungi orang-orang suci dan bijaksana.
Demokrasi ditempatkan dalam urutan pertama. Demokrasi merupakan
Buddha sedangkan konstitusionalisme merupakan Bodhisattwa, demikian
tulis Tokusuke (Nakae Chomin, 1989). Bodhisattwa adalah calon Buddha.
Konstitusionalisme patut dihormati, demokrasi patut dicintai.
Konstitusionalisme sekadar penginapan yang pada akhirnya harus
ditinggalkan, sedangkan demokrasi merupakan rumah terakhir. Kenapa?
Karena rakyat yang berkuasa lewat demokrasi.
Demokratisasi tidak hanya menyangkut sistem pemerintahan, ideologi
dan politik, tetapi juga sistem lain, seperti hukum, ekonomi, sosial,
pendidikan dan budaya. Pemantapan hukum harus diikuti komitmen dari
para pemimpin dan birokrat untuk tidak melanggar hukum dalam kondisi apa
pun, bersikap adil dan menghormati hak asasi manusia. Pertumbuhan
ekonomi diarahkan untuk melenyapkan kemiskinan dan menjamin agar setiap
orang hidup puas dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya. Sistem
kemasyarakatan memberi akses menuju sumber daya sosial yang terbuka
bagi semua orang.
Sumber: http://www.buddhayana.or.id
0 komentar:
Posting Komentar