Minggu, 24 April 2016

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI GAYA HIDUP HEDONIS DARI SUDUT PANDANG AGAMA BUDDHA


Manusia memiliki keinginan untuk selalu menikmati kebahagiaan di dalam hidupnya. Kebahagiaan bagi sebagian orang adalah keadaan dimana kehidupannya selalu diliputi kesenangan-kesenangan. Kesenangan dicari dengan cara memuaskan hasrat indera terhadap suatu objek. Pemuasan keinginan indera ditempuh dengan berbagai cara, misalnya: berburu kuliner untuk memanjakan lidah, pergi ke tempat-tempat yang ramai dengan musik, berbelanja barang-barang keluaran terbaru, bahkan berburu sesuatu yang dapat memuaskan hasrat seksual. Perilaku selalu mengejar kesenangan inilah yang dikenal sebagai perilaku hedonis.
Hedonisme adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Secara etimologi, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani “hedone” yang berarti “kepuasan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Tujuan paham aliran ini adalah untuk menghindari kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan sebanyak mungkin dalam kehidupan di dunia. Kebahagiaan diperoleh dengan mencari perasaan-perasaan menyenangkan dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak.
Seorang hedonis memiliki pandangan bahwa hidup harus dimanfaatkan untuk bersenang-senang. “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga” adalah empat hal yang diidamkan oleh para hedonis. Perilaku hedonis ini telah menyebar luas di dalam masyarakat. Penyebaran tidak hanya terjadi di lapisan masyarakat yang mapan secara ekonomi, namun menjangkit di seluruh lapisan dan golongan mayarakat. Pola hidup hedonis dapat terjadi di kalangan artis, pemerintah, pegawai negeri, pegawai swasta, bahkan remaja biasa. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan untuk berperilaku konsumtif.
Perilaku konsumtif adalah gaya hidup yang menganggap materi sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan kepuasan tersendiri. Perilaku konsumtif menciptakan kebiasaan pembelian produk bukan atas dasar kebutuhan melainkan sebagai lambang status. Pakaian, tas, sepatu yang memiliki merk terkenal lebih disukai meskipun mahal. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan keinginan atas status sosial bagi penganut gaya hidup konsumtif lebih diutamakan daripada pemenuhan kebutuhan dasar. Bagi golongan ekonomi menengah ke atas, hal tersebut wajar terjadi karena kebutuhan dasar sudah terpenuhi. Sedangkan bagi golongan ekonomi menengah ke bawah, akan muncul berbagai masalah yang diakibatkan karena ketidak seimbangan antara keinginan untuk membeli dengan daya beli. Mereka akan mencari segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau, termasuk dengan cara yang mengarah pada kriminalitas, misal: mencuri, membobol ATM, membegal, curanmor, penculikan, dan sebagainya.
Gaya hidup hedonis yang mengarah pada perilaku konsumtif menjadi topik bahasan yang menarik untuk dikaji. Bagaimana gaya hidup hedonis muncul dan bagaimana dampak dari hedonisme harus dibahas lebih dalam untuk membantu mengambil tindakan preventif maupun penanggulangan terhadap gaya hidup hedonis yang merebak di masyarakat. Lebih khusus, bagaimana Buddhisme memandang hedonisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup hedonis menjadi hal yang penting untuk dibahas karena Buddhisme dipandang sebagai ajaran yang berorientasi pada pelepasan nafsu keduniawian. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup hedonis dari sudut pandang agama Buddha.
SEJARAH HEDONISME
Sumber tertulis mengenai konsep hedonisme paling awal dijumpai dalam ajaran Barhaspatya yang dianut oleh Carvaka. Carvaka adalah suatu aliran filsafat India yang telah ada sekitar tahun 600 SM. Di dalam ajaran tersebut dijelaskan bahwa kematian adalah pembebasan sepenuhnya dari segala penderitaan. Mereka yang mencoba untuk mencapai keadaan bebas dari penderitaan dengan cara menekan keinginan karena berfikir bahwa segala kesenangan yang muncul dari pemuasannya bercampur dengan penderitaan, telah bertindak seperti orang-orang tolol. Orang bijaksana tidak akan menolak daging buah hanya karena ada kulit kerasnya. Seseorang hendaknya tidak melepaskan kesempatan menikmati kehidupan ini, dan berharap dengan sia-sia untuk menikmati kehidupan yang akan datang. Tujuan kehidupan manusia adalah untuk mencapai kesenangan sebanyak mungkin.
Hedonisme di barat muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Hedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat “apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?” Hal ini berawal dari Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia. Lalu Aristippus dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippus memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang ‘kesenangan’ (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.
Aristippus menyetujui pendapat Sokrates bahwa keutamaan hidup adalah mencari “yang baik”. Akan tetapi, ia menyamakan “yang baik” tersebut dengan kesenangan “hedone”. Menurutnya, akal (rasio) menusia harus memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan kesusahan. Hidup yang baik berkaitan dengan kerangka rasional tentang kenikmatan. Kesenangan menurut Aristippus bersifat badani (gerak dalam badan). Ia membagi gerakan itu menjadi tiga kemungkinan: gerak kasar (yang menyebabkan ketidaksenangan seperti rasa sakit), gerak halus (yang membuat kesenangan), dan tiada gerak (yaitu sebuah keadaan netral seperti kondisi saat tidur). Aristippus melihat kesenangan sebagai hal aktual, artinya kesenangan terjadi kini dan di sini. Kesenangan bukan sebuah masa lalu atau masa depan. Menurutnya, masa lalu hanya ingatan akan kesenangan (hal yang sudah pergi) dan masa depan adalah hal yang belum jelas.
Ajaran Epikuros menitikberatkan persoalan kenikmatan. Apa yang baik adalah segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, dan apa yang buruk adalah segala sesuatu yang menghasilkan ketidaknikmatan. Namun demikian, bukanlah kenikmatan yang tanpa aturan yang dijunjung Kaum Epikurean, melainkan kenikmatan yang dipahami secara mendalam. Kaum Epikurean membedakan keinginan alami yang perlu (seperti makan) dan keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), serta keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan yang berlebihan). Keinginan pertama harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menyebabkan kesenangan yang paling besar.
Kehidupan sederhana disarankan oleh Epikuros. Tujuannya adalah untuk mencapai “Ataraxia”, yaitu ketenteraman jiwa yang tenang, kebebasan dari perasaan risau, dan keadaan seimbang. Epikuros sangat menegaskan kebijaksanaan (phoronesis). Menurutnya, orang yang bijaksana adalah seorang seniman yang dapat mempertimbangkan pilihan nikmat atau rasa sakit. Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak kebutuhan, tetapi mereka yang membatasi kebutuhan agar dengan cara membatasi diri, ia akan mencapai kepuasan. Ia menghindari tindakan yang berlebihan. Oleh karena itu, Kaum Epikurean mempertimbangkan segi-segi positif dan negatif untuk mencapai kenikmatan jangka panjang dan mendekatkan diri kepada ataraxia.
GAYA HIDUP HEDONIS
Gaya hidup hedonis dalam pemahaman umum yang menggejala dalam masyarakat, merupakan sikap hidup yang cenderung foya-foya dan lebih bersifat glamor (hidup bermewah-mewahan). Gaya hidup hedonis adalah gaya hidup yang menjadikan kenikmatan dan kebahagiaan sebagai tujuan. Aktivitas apapun yang dilakukan selalu demi kenikmatan, bagaimanapun caranya, apapun sarananya dan apapun akibatnya. Orientasi hidup selalu diarahkan kesana dengan sedapat-dapatnya menghindari perasaan yang tidak enak atau menyakitkan. Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang ingin mencari kesenangan dan kenikmatan, senang membeli barang-barang mahal, selalu ingin menjadi pusat perhatian dan menghindari kesengsaraan dengan memiliki fasilitas yang berkecukupan. Gaya hidup hedonis dalam pelaksanaannya mempunyai karakteristik:
1.      Hedonisme Egoistis
Hedonisme egoistis adalah gaya hidup hedonis yang bertujuan untuk mendapatkan kesenangan semaksimal mungkin. Kesenangan yang dimaksud ialah dapat dinikmati dengan waktu yang lama dan mendalam. Sebagai contoh makan-makanan yang enak-enak, jumlah dan jenisnya banyak, dan disediakan waktu yang cukup lama untuk menikmati semuanya. Seperti pada perjamuan makan ala Romawi, apabila perut sudah penuh maka disediakan sebuah alat agar isi perut dapat dimuntahkan keluar, kemudian dapat diisi kembali jenis makanan yang lain sampai puas.
2.      Hedonisme Universal
Hedonisme universal mirip dengan ulitarisanisme yang artinya kesenangan maksimal bagi banyak orang. Contohnya: bila berdansa, haruslah berdansa bersama-sama, waktunya semalam suntuk, tidak boleh ada seorang pun yang absen, ataupun kesenangan-kesenangan lainnya yang dapat dinikmati bersama oleh semua orang.
HEDONISME DALAM AGAMA BUDDHA
Hedonisme bukanlah hal yang asing dalam agama Buddha. Istilah hedonisme sama dengan kamma tanha dalam agama Buddha. Kamma tanha adalah nafsu keinginan yang berorientasi pada pemuasan kesenangan indera. Keinginan untuk memuaskan kesenangan indera merupakan sifat alami manusia. Manusia selalu berusaha mencari kenikmatan dan menghindari hal-hal yang dianggap sebagai penderitaan. Nafsu keinginanlah yang menjadi sumber penderitaan.
Buddha sebelum mencapai penerangan sempurna merupakan seorang pangeran pewaris tahta kerajaan Kapilavasthu. Sebuah kerajaan besar yang memiliki daerah kekuasaan yang luas. Semasa hidupnya sebagai seorang pangeran, beliau selalu dikelilingi dengan kekayaan yang berlimpah, makanan dan minuman yang hanya dapat dinikmati keluarga kerajaan dan bangsawan, wanita-wanita penghibur dan musik-musik, serta kekuasaan untuk mendapatkan apapun yang diinginkan sehingga beliau tidak mengenal apa itu penderitaan. Raja Suddhodana sengaja menjauhkan anaknya dari hal-hal yang tidak menyenangkan agar ramalan yang menyatakan bahwa kelak Sang Pangeran akan meninggalkan kerajaan dan menjadi seorang pertapa tidak terjadi. Namun, Sang Pangeran mulai menyadari bahwa kesenangan hanya bersifat sementara setelah melihat empat hal (orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa) ketika beliau berkeliling ke luar istana. Beliau memutuskan pergi dari istana dan menjadi pertapa untuk mencari jalan pembebasan dari penderitaan.
Kesenangan duniawi bukanlah tujuan utama manusia. Ada kebahagiaan yang jauh lebih tinggi daripada kenikmatan duniawi, yaitu nibbana. Nibbana adalah kondisi dimana tidak ada lagi keinginan dan tidak ada lagi kelahiran. Dalam Alagaddupama Sutta dituliskan bahwa apa yang Buddha ajarkan baik di masa sekarang maupun masa lalu hanyalah tentang penderitaan dan cara melenyapkan penderitaan. Dapat dikatakan bahwa Buddhisme mengajarkan untuk menghindari gaya hidup hedonis dengan dasar bahwa kesenangan inderalah yang membuat manusia terjebak dalam lingkaran tumimbal lahir yang tiada henti di alam samsara.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI GAYA HIDUP HEDONIS
Saat ini yang muncul dalam diri sebagian besar orang bukanlah keinginan untuk terlepas dari kesenangan duniawi melainkan keinginan untuk tetap menikmati kesenangan-kesenangan indera. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup hedonis dalam agama Buddha adalah sebagai berikut:
1.      Keserakahan
Keserakahan merupakan salah satu dari tiga akar kejahatan. Keserakahan dalam agama Buddha diistilahkan dengan lobha (Pali) atau raga (Sansekerta). Lobha adalah keinginan berlebihan terhadap sesuatu yang menyenangkan. Keserakahan timbul ketika perasaan menyenangi objek (sukkha-vedana) muncul. Dalam proses pencerapan objek oleh landasan indera, ada tiga jenis perasaan yang dapat timbul, yaitu: senang, tidak senang, dan netral. Misalkan lidah mengecap makanan yang lezat, maka muncul perasaan senang. Perasaan senang yang tidak terkendali akan menimbulkan keinginan untuk menikmati makanan tersebut secara terus menerus. Apabila disertai dengan keegoisan, maka yang muncul adalah keinginan untuk menikmati kesenangan indera tanpa mempedulikan hak orang lain. Itulah yang dinamakan dengan keserakahan. Selama masih ada keserakahan, manusia akan terseret dalam penderitaan yang tak berkesudahan.
2.      Kesombongan
Kesombongan muncul ketika seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain. Perasaan memiliki hal yang lebih dibandingkan orang lain akan memunculkan kesombongan sedangkan perasaan memiliki hal yang kurang dibandingkan orang lain akan memunculkan sikap rendah diri. Namun agama Buddha memandang bahwa sikap membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain sudah termasuk kesombongan meskipun yang ada dalam dirinya lebih buruk dibandingakan orang lain. Tidak jarang orang yang memiliki kekurangan (dalam penampilan, kecerdasan, atau kekayaan) bersikap angkuh. “Biar jelek asal sombong” menjadi suatu prinsip bagi beberapa orang. Kesombongan dijadikan sebagai pertahanan diri agar tidak dipandang rendah orang lain.
Kesombongan dalam agama Buddha diistilahkan dengan mana. Dalam Parabhava Sutta, Buddha menyampaikan bahwa kesombongan atas kelahiran, kekayaan, dan suku, merendahkan orang lain adalah penyebab keruntuhan. Romo Dharma K Widya (2014) menerangkan ada empat jenis kesombongan berdasarkan penyebab yang dapat timbul dalam diri manusia, yaitu:
  • Kesombongan yang muncul akibat kelahiran. Sebagian besar orang dikenal karena kelahirannya (terlahir dari keluarga mana, siapa orang tuanya, dan status sosialnya apa). Orang yang terlahir dengan status sosial yang tinggi akan cenderung bersikap sombong. Mereka cenderung memandang rendah orang lain. Kelahiran bukanlah sesuatu yang pantas disombongkan, untuk dibualkan, atau untuk berpikir orang lain hina. Sekalipun seseorang tidak dilahirkan dalam keluarga yang luhur atau berdarah biru, jika dia ramah, sopan dan lembut kepada yang miskin, dia akan lebih dihormati dan dicintai 
  • Kesombongan yang muncul akibat kepemilikan/kekayaan. Banyak orang kaya yang tidak mau bergaul dengan orang miskin. Mereka berpikir bahwa dirinyalah yang paling kaya. Pepatah lama mengatakan, “Tidak pernah melihat sungai besar, anak sungai dianggap yang terbesar". Jika mereka terbuka dan baik kepada orang miskin, mereka akan lebih dihormati. Bahkan mereka akan ditolong ketika dalam bahaya. Oleh karena itu, kemakmuran yang telah diperoleh pada kehidupan ini karena kedermawanan pada kehidupan lampau, tidak semestinya menjadi sesuatu yang akan menuntun menuju tataran yang lebih rendah pada kehidupan mendatang. Orang kaya harus berjuang dengan cara-cara yang terhormat untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dan menyediakan bantuan bagi mereka. Limpahan harta dalam kehidupan sekarang bisa menghadapi banyak marabahaya. Sekalipun bisa terhindar dari marabahaya, harta hanya bisa digunakan pada kehidupan sekarang. 
  • Kesombongan yang muncul akibat dari penampilan. Penampilan fisik yang rupawan pada saat ini diakibatkan karena dalam kehidupan lampau bebas dari dosa (kebencian), mempersembahkan bunga, membersihkan altar dan Vihara, dan sebagainya. Kecantikan dan ketampanan menjadi sesuatu yang dibanggakan oleh setiap orang. Orang yang berpenampilan menarik akan lebih mudah mendapatkan teman, pekerjaan, dan disukai oleh banyak orang. Karena itulah banyak orang yang mengejar kerupawanan. Segala cara dilakukan untuk mempertahankan kecantikan atau ketampanan bahkan mengubah wajah aslinya menjadi wajah yang diinginkan dengan bantuan teknologi medis. Cantik tapi plastik. Bagaimanapun juga, kecantikan yang berasal dari luar hanyalah sementara, namun kecantikan yang berasal dari dalam akan terpancar selamanya. 
  • Kesombongan yang muncul akibat dari kecerdasan dan ilmu yang dimiliki. Pengetahuan adalah suatu modal untuk memberikan pendidikan apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, dan bagaimana hidup berbudaya serta berhubungan sosial dengan orang lain. Sebagian orang merasa sombong hanya karena pendidikan dan kelulusan akademik. Pendidikan adalah sesuatu yang dipelajari dari orang lain dan bukan hal yang terlalu luar biasa. Setiap orang bisa mendapatkan pendidikan formal jika diberi kesempatan untuk belajar dari guru yang baik. Ketika bertemu dengan seorang yang buta huruf dan sangat dungu, beberapa orang bersikap sombong dan memandang rendah. Pada dasarnya, pengetahuan dicapai agar dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.
3.      Pandangan Salah
Pandangan salah atau pemahaman keliru dalam agama Buddha diistilahkan dengan Ditthi. Ditthi memandang atau mengerti dengan keliru, sesuatu yang ada dianggap tidak ada, yang tidak ada dianggap ada; yang salah dianggap benar, yang benar dianggap salah. Ditthi juga secara dogma menganggap pandangan sendiri yang keliru sebagai benar dan pandangan benar orang lain sebagai keliru. Mempercayai dunia dan isinya diciptakan oleh sosok Yang Mahakuasa; percaya adanya atta (jiwa) disetiap tubuh makhluk; pandangan salah seperti itu disebut ditthi, percaya sesuatu yang tidak ada sebagai ada.
Secara keliru berpandangan bahwa perbuatan baik dan buruk tidak akan menimbulkan akibat pada kemudian hari; berpandangan salah bahwa tidak ada akibat dari kamma padahal semua makhluk menikmati atau menderita akibat dari kamma dengan berbagai cara; berpandangan salah bahwa tidak ada Nibbana yang merupakan padamnya segala penderitaan; berpandangan salah bahwa tidak ada kehidupan lagi setelah kematian padahal terus ada lingkaran kelahiran kembali sebelum pencapaian Nibbana. Pandangan-pandangan tersebut adalah ditthi.
4.      Kemelekatan
Perasaan ingin selalu memiliki atau menikmati sesuatu yang menyenangkan disebut sebagai kemelekatan. Dalam agama Buddha kemelekatan diistilahkan dengan upadana. Upadana merupakan sebab dari penderitaan. Ketika seseorang melekati apa yang dimiliki, maka pada saat kehilangan atau berpisah ia akan diliputi perasaan sedih yang mendalam. Dalam Upadana Sutta dijelaskan mengenai 4 jenis kemelekatan, yaitu:
  • Kamupadana (kemelekatan terhadap nafsu indera). Kamupadana adalah timbulnya kemelekatan dan keinginan untuk menguasai (memiliki) atau menghancurkan sesuatu dikala: melihat yang disukai atau tidak, mendengar yang menyenangkan atau tidak, mencium aroma yang wangi atau tidak, mengecap yang enak atau tidak, merasakan sentuhan yang lembut atau tidak, serta berpikir yang indah atau tidak. Terjadinya kemelekatan setelah adanya kontak antara indera dengan objek-objek yang tersentuh, itulah penjara. Seseorang yang begitu melekat dengan apa yang dia inginkan, berhasil diraih atau tidak, suatu saat pasti akan menimbulkan derita. Jika berhasil diraih, dia harus mencurahkan perhatian untuk merawat dan menjaganya. Benda apapun cepat maupun lambat, apakah dikehendaki atau tidak, pasti akan mengalami proses kehancuran. Jika proses kehancuran ini terjadi sedangkan seseorang begitu terlekat olehnya akan menimbulkan dukkha (derita). Begitu juga sebaliknya, jika tidak berhasil mendapatkan apa yang telah diidam-idamkan, derita juga yang dirasakan. Sang Buddha bersabda, "Makhluk-makhluk yang terjerat pada keinginan, meronta-ronta seperti kelinci yang terperangkap oleh pemburu. Mereka yang terjerat dalam belenggu dan ikatan batin, niscaya mengalami penderitaan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama" (Dhammapada 342). 
  • Ditthupadana (kemelekatan terhadap pandangan salah). Pandangan salah dalam hal ini adalah tidak bisa menerima atau mengerti kebenaran-kebenaran yang berlaku di alam semesta ini. Kebenaran kebenaran tersebut, misalnya adalah: setiap perbuatan, pasti akan menimbulkan akibat, benda apapun yang terdapat di alam semesta ini, tidaklah kekal keberadaannya, serta perbuatan baik akan menimbulkan kebahagiaan dan yang jahat akan menghasilkan penderitaan. Tidak sedikit dijumpai, yang hanya dikarenakan kesalahan pandangan hidup, seseorang enggan dan menolak untuk mau beramal. Baginya, beramal adalah suatu perbuatan yang sia-sia saja serta mubazir. Seseorang yang melekat pada pandangan keliru sangat sulit menerima kebenaran. Ia akan melihat orang lain salah dan ia selalu benar. 
  • Silabbatupadana (kemelekatan terhadap upacara/ritual). Silabbatupadana adalah suatu pandangan salah, yang meyakini bahwa dengan hanya memberikan (meletakkan) persembahan persembahan (sajian-sajian), di altar suci para Buddha, Bodhisattva dan Dewa, akan mendapatkan pahala-pahala atau berkah. Dan yang lebih fatal lagi adalah mempersembahkan daging (sebagai hasil dari pengorbanan makhluk hidup) di altar suci. Orang yang melekat pada upacara/ritual akan memberikan persembahan dalam bentuk apapun (daging, sayuran atau buah), diiringi dengan sejumlah pengharapan, misal: ingin mendapatkan kekayaan, jodoh, kekuasaaan atau kesucian. Hal tersebut adalah merupakan pandangan yang salah. Semuanya adalah wujud dari pengharapan yang sia-sia saja
  • Attavadupadana (kemelekatan terhadap keegoisan). Tidak ada seorangpun yang serba tahu atau sempurna di dalam kehidupan ini. Berdasarkan pada kebenaran ini, terlahir kaya, pintar, berkuasa, sehat dan lain sebagainya, bukanlah hal yang patut disombongkan. Tanpa adanya dukungan atau timbunan karma (perbuatan) baik, yang telah disemai di kehidupan-kehidupan sebelumnya, tidaklah mungkin kita bisa menikmati kelebihan kelebihan disaat ini. Keegoisan timbul karena adanya kebanggaan yang berlebihan atas kelebihan-kelebihan yang telah dimiliki. Orang kaya yang egois hanya akan memanfaatkan kekayaannya untuk melampiaskan kepuasan dirinya semata. Orang pintar yang egois selalu memperdaya pihak lain. Orang rupawan yang egois hanya memanfaatkan kecantikan dan ketampanannya untuk merendahkan pihak lain. Orang berkuasa yang egois akan bersikap otoriter, siapa yang menentang akan langsung disingkirkan. Orang yang melekat pada keegoan pribadi akan selalu mementingkan dirinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain.
5.      Sahabat Palsu
Sahabat palsu dalam agama Buddha dikenal dengan istilah Akalyanamitta. Dalam Sigalovada Sutta, Buddha menjelaskan empat jenis sahabat palsu yaitu sebagai berikut:
a.       Sahabat yang tamak, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)       Serakah
2)       Memberi sedikit dan meminta banyak
3)       Melakukan kewajibannya karena takut
4)       Hanya ingat akan kepentingannya sendiri.
b.      Orang yang banyak bicara sedikit berbuat, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)         Ia menyatakan persahabatan berkenaan dengan hal-hal yang lampau,
2)         Ia menyatakan persahabatan berkenaan dengan hal-hal yang mendatang,
3)         Ia berusaha untuk mendapatkan simpati dengan kata-kata kosong,
4)         Bila ada kesempatan untuk membantu ia mengatakan tidak sanggup.
c.       Penjilat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)         Menyetujui hal-hal yang salah
2)         Tidak menganjurkan hal-hal yang benar
3)         Memuji di depan
4)         Berbicara jelek dihadapan orang-orang lain.
d.      Kawan pemboros mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)         Menjadi kawan apabila gemar akan minum minuman keras
2)         Menjadi kawan apabila sering berkeliaran di jalan pada waktu yang tidak pantas
3)         Menjadi kawan apabila mengejar tempat-tempat hiburan dan pertunjukkan
4)         Menjadi kawan apabila gemar berjudi.
Keserakahan, kesombongan, pandangan keliru, dan kemelekatan merupakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi gaya hidup hedonis. Semakin orang serakah, semakin ia akan berusaha untuk memuaskan nafsu keinginannya. Semakin orang sombong, semakin ia akan berusaha menjadikan dirinya untuk selalu lebih dibandingkan orang lain melalui penampilan dan kekayaan. Semakin orang tersesat dalam pandangan keliru, semakin ia terseret dalam pemahaman bahwa hidup hanya untuk bersenang-senang. Semakin orang melekati apa yang disenangi, semakin ia akan berusaha mempertahankannya.
Sahabat palsu merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi gaya hidup hedonis. Pergaulan yang tidak baik tentu akan membawa dampak negatif dalam diri seseorang. Orang yang berada di antara teman-teman pemabuk, ia akan menjadi pemabuk. Orang yang berada di antara teman-teman penjudi, ia akan menjadi penjudi. Orang yang berada di antara teman-teman yang gemar berbelanja, ia akan ikut gemar berbelanja. Sahabat palsu hanya menemani di kala temannya senang dan menghindar di temannya dalam kesusahan.
DAMPAK NEGATIF GAYA HIDUP HEDONIS
Perkembangan gaya hidup hedonis di Indonesia paling pesat terlihat dari kalangan generasi muda, yang diposisikan sebagai generasi penerus. Hal tersebut yang menyebabkan terkikisnya budaya asli Indonesia dari waktu ke waktu. Sesungguhnya keinginan untuk hidup senang dan mewah adalah sebagian dari naluri semua manusia, tetapi hal tersebut tidak boleh dibiarkan membudaya dalam masyarakat karena akan menimbulkan dampak negatif, diantaranya:
  1. Hedonisme membuat orang lupa akan tanggungjawabnya karena apa yang dia lakukan semata-mata untuk mencari kesenangan diri.
  2. Manusia akan memprioritaskan kesenangan diri sendiri dibanding memikirkan orang lain, sehingga menyebabkan hilangnya rasa persaudaraan, cinta kasih dan kesetiakawanan sosial.
  3.  Sikap egoisme akan semakin membudaya
  4. Semakin berkembangnya sistem kapitalis-sekuler
  5. Merusak suatu sistem nilai kehidupan yang ada dalam masyarakat sekarang, mulai sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, pendidikan sampai sistem pemerintahan.
  6. Meningkatnya angka kriminalitas. Tindak kriminal yang terjadi kebanyakan dilatar belakangi oleh sifat hedonisme manusia semata.
BUDDHISME: JALAN TENGAH ANTARA HEDONISME DAN ASKETISME
Ada dua sikap terhadap kesenangan: mengejar kesenangan atau menjauhi kesenangan. Sikap mengejar kesenangan akan berujung pada hedonisme yang menganggap bahwa kesenangan adalah tujuan utama hidup manusia. Sedangkan sikap menjauhi kesenangan akan berujung pada asketisme yang berusaha melepaskan segala bentuk kemewahan. Bahkan dalam asketisme ekstrim, seseorang akan berusaha menghindari segala bentuk kesenangan dan keindahan dengan cara menyiksa diri, hidup di hutan, mengenakan sehelai kain, serta tidak makan dan minum.
Buddha dalam proses pencarian pencerahan juga melakukan praktik asketisme ekstrim. Beliau selama enam tahun menyiksa diri di hutan, hanya duduk bermeditasi, tidak makan maupun minum, hingga badannya hanya tinggal kulit pembungkus tulang. Namun beliau kemudian menyadari bahwa dengan menjauhi segala bentuk kesenangan indera dengan cara menyiksa diri tidak akan membawa pada pencerahan. Beliau mengakhiri latihan ekstrim tersebut dan mengubah cara berlatih dengan sikap madya, tidak terlalu keras dalam berlatih dan tidak terlalu lentur. “Seperti senar mandolin, bila ditarik terlalu kencang akan putus, dan bila terlalu kendur tidak akan menghasilkan bunyi”. Demikianlah akhirnya, beliau mampu mencapai kesempurnaan dan menemukan jalan tengah menuju pembebasan.
Buddha tidak mengajarkan untuk mengumbar kesenangan maupun menghindari segala bentuk kesenangan melainkan bersikap waspada. Kewaspadaan dibutuhkan agar tidak terperdaya oleh pikiran-pikiran negatif (keserakahan, kesombongan, pandangan keliru, dan kemelekatan). Memiliki pengendalian diri terhadap nafsu keinginan merupakan hal yang utama karena nafsu keinginan adalah sumber penderitaan. Pemenuhan keinginan bukanlah prioritas utama melainkan pemenuhan kebutuhan. Keinginan manusia tidak ada batasnya. Ketika pemenuhan keinginan menjadi hal yang utama, maka sampai kapanpun seseorang akan mengejar keinginan yang tak berkesudahan. Untuk memperoleh kebahagiaan orang hendanknya berlaku jujur, rendah hati, mudah merasa puas, hidup sederhana, dan tidak melekat (Karaniya Metta Sutta).


DAFTAR REFERENSI
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dialogue of The Buddha (Digha Nikaya) Vol I. Translated. David, Rhys. 1979. London: The Pali Text Society.
Dialogue of The Buddha (Digha Nikaya) Vol II. Translated. David, Rhys. 1979. London: The Pali Text Society.
Feldman, Fred. 1997. Utilitarianism, Hedonism, and Desert: Essays in Moral Philosophy. Australia: Cambridge University Press.
Jankabhivamsa, Ashin. 2005. Abhidhamma Sehari-hari. Jakarta: Ehipassiko.
Piyaratana, W. 2008. The Analysis of Sensual Love as Depicted in The Pali Nikayas. Thailand: Mahaculalongkornrajavidyalaya University.
Praja, Dauzan Deriyansyah, dan Anita Damayantie._.Potret Gaya Hidup Hedonisme Di Kalangan Mahasiswa (Studi pada Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Lampung). Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 3: 184-193.
Sadhu, Siddharta. 2015. Cārvāka Hedonism Compared with That of Aristippus and Epicurus. Paripex - Indian Journal of Research. Vol 4: 71-72.
The Book of Discourse (Sutta Nipata) Vol. I. Translated. Norman, K.R. 1984, London: The Pali Text Society.
The Book of The Kindered Sayings (Samyutta Nikāya) Vol I. Translated. Davids, Rhys. 1987. London: The Pali Text Society
The Middle Length Saying (Majjhima Nikaya) Vol.I. Translated. Hoener, I.B. 1989.  London: The Pali Text Society.
The Word of the Doctrine (Dhammapada). Translated. Norman. 2004. London: The Pali Text Society.

0 komentar:

Posting Komentar