Manusia memiliki
keinginan untuk selalu menikmati kebahagiaan di dalam hidupnya. Kebahagiaan
bagi sebagian orang adalah keadaan dimana kehidupannya selalu diliputi
kesenangan-kesenangan. Kesenangan dicari dengan cara memuaskan hasrat indera
terhadap suatu objek. Pemuasan keinginan indera ditempuh dengan berbagai cara,
misalnya: berburu kuliner untuk memanjakan lidah, pergi ke tempat-tempat yang
ramai dengan musik, berbelanja barang-barang keluaran terbaru, bahkan berburu
sesuatu yang dapat memuaskan hasrat seksual. Perilaku selalu mengejar
kesenangan inilah yang dikenal sebagai perilaku hedonis.
Hedonisme adalah
paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Secara etimologi, Hedonisme berasal
dari bahasa Yunani “hedone” yang
berarti “kepuasan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan
sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai
tujuan utama dalam hidup. Tujuan paham aliran ini adalah untuk menghindari
kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan sebanyak mungkin dalam kehidupan di
dunia. Kebahagiaan diperoleh dengan mencari perasaan-perasaan menyenangkan dan
sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak.
Seorang hedonis
memiliki pandangan bahwa hidup harus dimanfaatkan untuk bersenang-senang.
“Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga” adalah empat
hal yang diidamkan oleh para hedonis. Perilaku hedonis ini telah menyebar luas
di dalam masyarakat. Penyebaran tidak hanya terjadi di lapisan masyarakat yang
mapan secara ekonomi, namun menjangkit di seluruh lapisan dan golongan
mayarakat. Pola hidup hedonis dapat terjadi di kalangan artis, pemerintah,
pegawai negeri, pegawai swasta, bahkan remaja biasa. Hal ini dapat dilihat dari
kecenderungan untuk berperilaku konsumtif.
Perilaku konsumtif
adalah gaya hidup yang menganggap materi sebagai sesuatu yang dapat
mendatangkan kepuasan tersendiri. Perilaku konsumtif menciptakan kebiasaan
pembelian produk bukan atas dasar kebutuhan melainkan sebagai lambang status.
Pakaian, tas, sepatu yang memiliki merk terkenal lebih disukai meskipun mahal.
Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan keinginan atas status sosial bagi penganut
gaya hidup konsumtif lebih diutamakan daripada pemenuhan kebutuhan dasar. Bagi
golongan ekonomi menengah ke atas, hal tersebut wajar terjadi karena kebutuhan
dasar sudah terpenuhi. Sedangkan bagi golongan ekonomi menengah ke bawah, akan
muncul berbagai masalah yang diakibatkan karena ketidak seimbangan antara
keinginan untuk membeli dengan daya beli. Mereka akan mencari segala cara untuk
mendapatkan apa yang mereka mau, termasuk dengan cara yang mengarah pada
kriminalitas, misal: mencuri, membobol ATM, membegal, curanmor, penculikan, dan
sebagainya.
Gaya hidup hedonis
yang mengarah pada perilaku konsumtif menjadi topik bahasan yang menarik untuk
dikaji. Bagaimana gaya hidup hedonis muncul dan bagaimana dampak dari hedonisme
harus dibahas lebih dalam untuk membantu mengambil tindakan preventif maupun
penanggulangan terhadap gaya hidup hedonis yang merebak di masyarakat. Lebih
khusus, bagaimana Buddhisme memandang hedonisme dan faktor-faktor yang
mempengaruhi gaya hidup hedonis menjadi hal yang penting untuk dibahas karena
Buddhisme dipandang sebagai ajaran yang berorientasi pada pelepasan nafsu keduniawian.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi gaya hidup hedonis dari sudut pandang agama Buddha.
SEJARAH HEDONISME
Sumber tertulis
mengenai konsep hedonisme paling awal dijumpai dalam ajaran Barhaspatya yang dianut oleh Carvaka. Carvaka adalah suatu aliran filsafat India yang telah ada sekitar
tahun 600 SM. Di dalam ajaran tersebut dijelaskan bahwa kematian adalah
pembebasan sepenuhnya dari segala penderitaan. Mereka yang mencoba untuk
mencapai keadaan bebas dari penderitaan dengan cara menekan keinginan karena berfikir
bahwa segala kesenangan yang muncul dari pemuasannya bercampur dengan
penderitaan, telah bertindak seperti orang-orang tolol. Orang bijaksana tidak
akan menolak daging buah hanya karena ada kulit kerasnya. Seseorang hendaknya tidak
melepaskan kesempatan menikmati kehidupan ini, dan berharap dengan sia-sia untuk
menikmati kehidupan yang akan datang. Tujuan kehidupan manusia adalah untuk
mencapai kesenangan sebanyak mungkin.
Hedonisme di barat
muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Hedonisme ingin
menjawab pertanyaan filsafat “apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?” Hal ini
berawal dari Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi
tujuan akhir manusia. Lalu Aristippus dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa
yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippus memaparkan
bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak
mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang
‘kesenangan’ (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain
bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari
kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih
luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja melainkan kesenangan
rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.
Aristippus
menyetujui pendapat Sokrates bahwa keutamaan hidup adalah mencari “yang baik”.
Akan tetapi, ia menyamakan “yang baik” tersebut dengan kesenangan “hedone”. Menurutnya, akal (rasio)
menusia harus memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan kesusahan. Hidup yang
baik berkaitan dengan kerangka rasional tentang kenikmatan. Kesenangan menurut
Aristippus bersifat badani (gerak dalam badan). Ia membagi gerakan itu menjadi
tiga kemungkinan: gerak kasar (yang menyebabkan ketidaksenangan seperti rasa
sakit), gerak halus (yang membuat kesenangan), dan tiada gerak (yaitu sebuah
keadaan netral seperti kondisi saat tidur). Aristippus melihat kesenangan
sebagai hal aktual, artinya kesenangan terjadi kini dan di sini. Kesenangan
bukan sebuah masa lalu atau masa depan. Menurutnya, masa lalu hanya ingatan
akan kesenangan (hal yang sudah pergi) dan masa depan adalah hal yang belum
jelas.
Ajaran Epikuros
menitikberatkan persoalan kenikmatan. Apa yang baik adalah segala sesuatu yang
mendatangkan kenikmatan, dan apa yang buruk adalah segala sesuatu yang
menghasilkan ketidaknikmatan. Namun demikian, bukanlah kenikmatan yang tanpa
aturan yang dijunjung Kaum Epikurean, melainkan kenikmatan yang dipahami secara
mendalam. Kaum Epikurean membedakan keinginan alami yang perlu (seperti makan)
dan keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), serta keinginan
yang sia-sia (seperti kekayaan yang berlebihan). Keinginan pertama harus
dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menyebabkan kesenangan yang paling
besar.
Kehidupan sederhana
disarankan oleh Epikuros. Tujuannya adalah untuk mencapai “Ataraxia”, yaitu ketenteraman jiwa yang tenang, kebebasan dari
perasaan risau, dan keadaan seimbang. Epikuros sangat menegaskan kebijaksanaan
(phoronesis). Menurutnya, orang yang
bijaksana adalah seorang seniman yang dapat mempertimbangkan pilihan nikmat
atau rasa sakit. Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak kebutuhan,
tetapi mereka yang membatasi kebutuhan agar dengan cara membatasi diri, ia akan
mencapai kepuasan. Ia menghindari tindakan yang berlebihan. Oleh karena itu,
Kaum Epikurean mempertimbangkan segi-segi positif dan negatif untuk mencapai
kenikmatan jangka panjang dan mendekatkan diri kepada ataraxia.
GAYA HIDUP HEDONIS
Gaya hidup hedonis
dalam pemahaman umum yang menggejala dalam masyarakat, merupakan sikap hidup
yang cenderung foya-foya dan lebih bersifat glamor (hidup bermewah-mewahan). Gaya
hidup hedonis adalah gaya hidup yang menjadikan kenikmatan dan kebahagiaan
sebagai tujuan. Aktivitas apapun yang dilakukan selalu demi kenikmatan,
bagaimanapun caranya, apapun sarananya dan apapun akibatnya. Orientasi hidup
selalu diarahkan kesana dengan sedapat-dapatnya menghindari perasaan yang tidak
enak atau menyakitkan. Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang ingin
mencari kesenangan dan kenikmatan, senang membeli barang-barang mahal, selalu
ingin menjadi pusat perhatian dan menghindari kesengsaraan dengan memiliki
fasilitas yang berkecukupan. Gaya hidup hedonis dalam pelaksanaannya mempunyai
karakteristik:
1.
Hedonisme Egoistis
Hedonisme
egoistis adalah gaya hidup hedonis yang bertujuan untuk mendapatkan kesenangan
semaksimal mungkin. Kesenangan yang dimaksud ialah dapat dinikmati dengan waktu
yang lama dan mendalam. Sebagai contoh makan-makanan yang enak-enak, jumlah dan
jenisnya banyak, dan disediakan waktu yang cukup lama untuk menikmati semuanya.
Seperti pada perjamuan makan ala Romawi, apabila perut sudah penuh maka
disediakan sebuah alat agar isi perut dapat dimuntahkan keluar, kemudian dapat
diisi kembali jenis makanan yang lain sampai puas.
2.
Hedonisme Universal
Hedonisme
universal mirip dengan ulitarisanisme yang artinya kesenangan maksimal bagi
banyak orang. Contohnya: bila berdansa, haruslah berdansa bersama-sama,
waktunya semalam suntuk, tidak boleh ada seorang pun yang absen, ataupun
kesenangan-kesenangan lainnya yang dapat dinikmati bersama oleh semua orang.
HEDONISME DALAM AGAMA
BUDDHA
Hedonisme bukanlah
hal yang asing dalam agama Buddha. Istilah hedonisme sama dengan kamma tanha dalam agama Buddha. Kamma tanha adalah nafsu keinginan yang
berorientasi pada pemuasan kesenangan indera. Keinginan untuk memuaskan
kesenangan indera merupakan sifat alami manusia. Manusia selalu berusaha
mencari kenikmatan dan menghindari hal-hal yang dianggap sebagai penderitaan. Nafsu
keinginanlah yang menjadi sumber penderitaan.
Buddha sebelum
mencapai penerangan sempurna merupakan seorang pangeran pewaris tahta kerajaan
Kapilavasthu. Sebuah kerajaan besar yang memiliki daerah kekuasaan yang luas.
Semasa hidupnya sebagai seorang pangeran, beliau selalu dikelilingi dengan
kekayaan yang berlimpah, makanan dan minuman yang hanya dapat dinikmati
keluarga kerajaan dan bangsawan, wanita-wanita penghibur dan musik-musik, serta
kekuasaan untuk mendapatkan apapun yang diinginkan sehingga beliau tidak
mengenal apa itu penderitaan. Raja Suddhodana sengaja menjauhkan anaknya dari
hal-hal yang tidak menyenangkan agar ramalan yang menyatakan bahwa kelak Sang
Pangeran akan meninggalkan kerajaan dan menjadi seorang pertapa tidak terjadi.
Namun, Sang Pangeran mulai menyadari bahwa kesenangan hanya bersifat sementara
setelah melihat empat hal (orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa) ketika
beliau berkeliling ke luar istana. Beliau memutuskan pergi dari istana dan
menjadi pertapa untuk mencari jalan pembebasan dari penderitaan.
Kesenangan duniawi
bukanlah tujuan utama manusia. Ada kebahagiaan yang jauh lebih tinggi daripada
kenikmatan duniawi, yaitu nibbana. Nibbana adalah kondisi dimana tidak ada
lagi keinginan dan tidak ada lagi kelahiran. Dalam Alagaddupama Sutta dituliskan bahwa apa yang Buddha ajarkan baik di
masa sekarang maupun masa lalu hanyalah tentang penderitaan dan cara
melenyapkan penderitaan. Dapat dikatakan bahwa Buddhisme mengajarkan untuk
menghindari gaya hidup hedonis dengan dasar bahwa kesenangan inderalah yang
membuat manusia terjebak dalam lingkaran tumimbal lahir yang tiada henti di
alam samsara.
FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI GAYA HIDUP HEDONIS
Saat ini yang
muncul dalam diri sebagian besar orang bukanlah keinginan untuk terlepas dari
kesenangan duniawi melainkan keinginan untuk tetap menikmati
kesenangan-kesenangan indera. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup
hedonis dalam agama Buddha adalah sebagai berikut:
1.
Keserakahan
Keserakahan
merupakan salah satu dari tiga akar kejahatan. Keserakahan dalam agama Buddha
diistilahkan dengan lobha (Pali) atau
raga (Sansekerta). Lobha adalah keinginan berlebihan
terhadap sesuatu yang menyenangkan. Keserakahan timbul ketika perasaan menyenangi
objek (sukkha-vedana) muncul. Dalam
proses pencerapan objek oleh landasan indera, ada tiga jenis perasaan yang
dapat timbul, yaitu: senang, tidak senang, dan netral. Misalkan lidah mengecap
makanan yang lezat, maka muncul perasaan senang. Perasaan senang yang tidak
terkendali akan menimbulkan keinginan untuk menikmati makanan tersebut secara
terus menerus. Apabila disertai dengan keegoisan, maka yang muncul adalah
keinginan untuk menikmati kesenangan indera tanpa mempedulikan hak orang lain.
Itulah yang dinamakan dengan keserakahan. Selama masih ada keserakahan, manusia
akan terseret dalam penderitaan yang tak berkesudahan.
2.
Kesombongan
Kesombongan
muncul ketika seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain. Perasaan
memiliki hal yang lebih dibandingkan orang lain akan memunculkan kesombongan
sedangkan perasaan memiliki hal yang kurang dibandingkan orang lain akan
memunculkan sikap rendah diri. Namun agama Buddha memandang bahwa sikap
membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain sudah termasuk kesombongan
meskipun yang ada dalam dirinya lebih buruk dibandingakan orang lain. Tidak
jarang orang yang memiliki kekurangan (dalam penampilan, kecerdasan, atau
kekayaan) bersikap angkuh. “Biar jelek asal sombong” menjadi suatu prinsip bagi
beberapa orang. Kesombongan dijadikan sebagai pertahanan diri agar tidak dipandang
rendah orang lain.
Kesombongan
dalam agama Buddha diistilahkan dengan mana. Dalam
Parabhava Sutta, Buddha menyampaikan
bahwa kesombongan atas kelahiran, kekayaan, dan suku, merendahkan orang lain
adalah penyebab keruntuhan. Romo Dharma K Widya (2014) menerangkan ada empat
jenis kesombongan berdasarkan penyebab yang dapat timbul dalam diri manusia,
yaitu:
- Kesombongan yang muncul akibat kelahiran. Sebagian besar orang dikenal karena kelahirannya (terlahir dari keluarga mana, siapa orang tuanya, dan status sosialnya apa). Orang yang terlahir dengan status sosial yang tinggi akan cenderung bersikap sombong. Mereka cenderung memandang rendah orang lain. Kelahiran bukanlah sesuatu yang pantas disombongkan, untuk dibualkan, atau untuk berpikir orang lain hina. Sekalipun seseorang tidak dilahirkan dalam keluarga yang luhur atau berdarah biru, jika dia ramah, sopan dan lembut kepada yang miskin, dia akan lebih dihormati dan dicintai
- Kesombongan yang muncul akibat kepemilikan/kekayaan. Banyak orang kaya yang tidak mau bergaul dengan orang miskin. Mereka berpikir bahwa dirinyalah yang paling kaya. Pepatah lama mengatakan, “Tidak pernah melihat sungai besar, anak sungai dianggap yang terbesar". Jika mereka terbuka dan baik kepada orang miskin, mereka akan lebih dihormati. Bahkan mereka akan ditolong ketika dalam bahaya. Oleh karena itu, kemakmuran yang telah diperoleh pada kehidupan ini karena kedermawanan pada kehidupan lampau, tidak semestinya menjadi sesuatu yang akan menuntun menuju tataran yang lebih rendah pada kehidupan mendatang. Orang kaya harus berjuang dengan cara-cara yang terhormat untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dan menyediakan bantuan bagi mereka. Limpahan harta dalam kehidupan sekarang bisa menghadapi banyak marabahaya. Sekalipun bisa terhindar dari marabahaya, harta hanya bisa digunakan pada kehidupan sekarang.
- Kesombongan yang muncul akibat dari penampilan. Penampilan fisik yang rupawan pada saat ini diakibatkan karena dalam kehidupan lampau bebas dari dosa (kebencian), mempersembahkan bunga, membersihkan altar dan Vihara, dan sebagainya. Kecantikan dan ketampanan menjadi sesuatu yang dibanggakan oleh setiap orang. Orang yang berpenampilan menarik akan lebih mudah mendapatkan teman, pekerjaan, dan disukai oleh banyak orang. Karena itulah banyak orang yang mengejar kerupawanan. Segala cara dilakukan untuk mempertahankan kecantikan atau ketampanan bahkan mengubah wajah aslinya menjadi wajah yang diinginkan dengan bantuan teknologi medis. Cantik tapi plastik. Bagaimanapun juga, kecantikan yang berasal dari luar hanyalah sementara, namun kecantikan yang berasal dari dalam akan terpancar selamanya.
- Kesombongan yang muncul akibat dari kecerdasan dan ilmu yang dimiliki. Pengetahuan adalah suatu modal untuk memberikan pendidikan apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, dan bagaimana hidup berbudaya serta berhubungan sosial dengan orang lain. Sebagian orang merasa sombong hanya karena pendidikan dan kelulusan akademik. Pendidikan adalah sesuatu yang dipelajari dari orang lain dan bukan hal yang terlalu luar biasa. Setiap orang bisa mendapatkan pendidikan formal jika diberi kesempatan untuk belajar dari guru yang baik. Ketika bertemu dengan seorang yang buta huruf dan sangat dungu, beberapa orang bersikap sombong dan memandang rendah. Pada dasarnya, pengetahuan dicapai agar dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.
3.
Pandangan Salah
Pandangan
salah atau pemahaman keliru dalam agama Buddha diistilahkan dengan Ditthi. Ditthi memandang atau mengerti dengan keliru, sesuatu yang ada
dianggap tidak ada, yang tidak ada dianggap ada; yang salah dianggap benar,
yang benar dianggap salah. Ditthi juga secara dogma menganggap pandangan
sendiri yang keliru sebagai benar dan pandangan benar orang lain sebagai
keliru. Mempercayai dunia dan isinya diciptakan oleh sosok Yang Mahakuasa;
percaya adanya atta (jiwa) disetiap
tubuh makhluk; pandangan salah seperti itu disebut ditthi, percaya sesuatu yang tidak ada sebagai ada.
Secara
keliru berpandangan bahwa perbuatan baik dan buruk tidak akan menimbulkan
akibat pada kemudian hari; berpandangan salah bahwa tidak ada akibat dari kamma
padahal semua makhluk menikmati atau menderita akibat dari kamma dengan
berbagai cara; berpandangan salah bahwa tidak ada Nibbana yang merupakan padamnya segala penderitaan; berpandangan
salah bahwa tidak ada kehidupan lagi setelah kematian padahal terus ada
lingkaran kelahiran kembali sebelum pencapaian Nibbana. Pandangan-pandangan tersebut adalah ditthi.
4.
Kemelekatan
Perasaan
ingin selalu memiliki atau menikmati sesuatu yang menyenangkan disebut sebagai
kemelekatan. Dalam agama Buddha kemelekatan diistilahkan dengan upadana. Upadana merupakan sebab dari penderitaan. Ketika seseorang melekati
apa yang dimiliki, maka pada saat kehilangan atau berpisah ia akan diliputi
perasaan sedih yang mendalam. Dalam Upadana
Sutta dijelaskan mengenai 4 jenis kemelekatan, yaitu:
- Kamupadana (kemelekatan terhadap nafsu indera). Kamupadana adalah timbulnya kemelekatan dan keinginan untuk menguasai (memiliki) atau menghancurkan sesuatu dikala: melihat yang disukai atau tidak, mendengar yang menyenangkan atau tidak, mencium aroma yang wangi atau tidak, mengecap yang enak atau tidak, merasakan sentuhan yang lembut atau tidak, serta berpikir yang indah atau tidak. Terjadinya kemelekatan setelah adanya kontak antara indera dengan objek-objek yang tersentuh, itulah penjara. Seseorang yang begitu melekat dengan apa yang dia inginkan, berhasil diraih atau tidak, suatu saat pasti akan menimbulkan derita. Jika berhasil diraih, dia harus mencurahkan perhatian untuk merawat dan menjaganya. Benda apapun cepat maupun lambat, apakah dikehendaki atau tidak, pasti akan mengalami proses kehancuran. Jika proses kehancuran ini terjadi sedangkan seseorang begitu terlekat olehnya akan menimbulkan dukkha (derita). Begitu juga sebaliknya, jika tidak berhasil mendapatkan apa yang telah diidam-idamkan, derita juga yang dirasakan. Sang Buddha bersabda, "Makhluk-makhluk yang terjerat pada keinginan, meronta-ronta seperti kelinci yang terperangkap oleh pemburu. Mereka yang terjerat dalam belenggu dan ikatan batin, niscaya mengalami penderitaan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama" (Dhammapada 342).
- Ditthupadana (kemelekatan terhadap pandangan salah). Pandangan salah dalam hal ini adalah tidak bisa menerima atau mengerti kebenaran-kebenaran yang berlaku di alam semesta ini. Kebenaran kebenaran tersebut, misalnya adalah: setiap perbuatan, pasti akan menimbulkan akibat, benda apapun yang terdapat di alam semesta ini, tidaklah kekal keberadaannya, serta perbuatan baik akan menimbulkan kebahagiaan dan yang jahat akan menghasilkan penderitaan. Tidak sedikit dijumpai, yang hanya dikarenakan kesalahan pandangan hidup, seseorang enggan dan menolak untuk mau beramal. Baginya, beramal adalah suatu perbuatan yang sia-sia saja serta mubazir. Seseorang yang melekat pada pandangan keliru sangat sulit menerima kebenaran. Ia akan melihat orang lain salah dan ia selalu benar.
- Silabbatupadana (kemelekatan terhadap upacara/ritual). Silabbatupadana adalah suatu pandangan salah, yang meyakini bahwa dengan hanya memberikan (meletakkan) persembahan persembahan (sajian-sajian), di altar suci para Buddha, Bodhisattva dan Dewa, akan mendapatkan pahala-pahala atau berkah. Dan yang lebih fatal lagi adalah mempersembahkan daging (sebagai hasil dari pengorbanan makhluk hidup) di altar suci. Orang yang melekat pada upacara/ritual akan memberikan persembahan dalam bentuk apapun (daging, sayuran atau buah), diiringi dengan sejumlah pengharapan, misal: ingin mendapatkan kekayaan, jodoh, kekuasaaan atau kesucian. Hal tersebut adalah merupakan pandangan yang salah. Semuanya adalah wujud dari pengharapan yang sia-sia saja.
- Attavadupadana (kemelekatan terhadap keegoisan). Tidak ada seorangpun yang serba tahu atau sempurna di dalam kehidupan ini. Berdasarkan pada kebenaran ini, terlahir kaya, pintar, berkuasa, sehat dan lain sebagainya, bukanlah hal yang patut disombongkan. Tanpa adanya dukungan atau timbunan karma (perbuatan) baik, yang telah disemai di kehidupan-kehidupan sebelumnya, tidaklah mungkin kita bisa menikmati kelebihan kelebihan disaat ini. Keegoisan timbul karena adanya kebanggaan yang berlebihan atas kelebihan-kelebihan yang telah dimiliki. Orang kaya yang egois hanya akan memanfaatkan kekayaannya untuk melampiaskan kepuasan dirinya semata. Orang pintar yang egois selalu memperdaya pihak lain. Orang rupawan yang egois hanya memanfaatkan kecantikan dan ketampanannya untuk merendahkan pihak lain. Orang berkuasa yang egois akan bersikap otoriter, siapa yang menentang akan langsung disingkirkan. Orang yang melekat pada keegoan pribadi akan selalu mementingkan dirinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain.
5.
Sahabat Palsu
Sahabat
palsu dalam agama Buddha dikenal dengan istilah Akalyanamitta. Dalam Sigalovada
Sutta, Buddha menjelaskan empat jenis sahabat palsu yaitu sebagai berikut:
a.
Sahabat yang tamak, mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
1)
Serakah
2)
Memberi sedikit dan meminta banyak
3)
Melakukan kewajibannya karena takut
4)
Hanya ingat akan kepentingannya sendiri.
b.
Orang yang banyak bicara sedikit
berbuat, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)
Ia menyatakan persahabatan
berkenaan dengan hal-hal yang lampau,
2)
Ia menyatakan persahabatan
berkenaan dengan hal-hal yang mendatang,
3)
Ia berusaha untuk mendapatkan
simpati dengan kata-kata kosong,
4)
Bila ada kesempatan untuk
membantu ia mengatakan tidak sanggup.
c.
Penjilat mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
1)
Menyetujui hal-hal yang salah
2)
Tidak menganjurkan hal-hal yang
benar
3)
Memuji di depan
4)
Berbicara jelek dihadapan
orang-orang lain.
d.
Kawan pemboros mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
1)
Menjadi kawan apabila gemar
akan minum minuman keras
2)
Menjadi kawan apabila sering
berkeliaran di jalan pada waktu yang tidak pantas
3)
Menjadi kawan apabila mengejar
tempat-tempat hiburan dan pertunjukkan
4)
Menjadi kawan apabila gemar
berjudi.
Keserakahan,
kesombongan, pandangan keliru, dan kemelekatan merupakan faktor-faktor internal
yang mempengaruhi gaya hidup hedonis. Semakin orang serakah, semakin ia akan
berusaha untuk memuaskan nafsu keinginannya. Semakin orang sombong, semakin ia
akan berusaha menjadikan dirinya untuk selalu lebih dibandingkan orang lain
melalui penampilan dan kekayaan. Semakin orang tersesat dalam pandangan keliru,
semakin ia terseret dalam pemahaman bahwa hidup hanya untuk bersenang-senang.
Semakin orang melekati apa yang disenangi, semakin ia akan berusaha
mempertahankannya.
Sahabat palsu
merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi gaya hidup hedonis. Pergaulan yang
tidak baik tentu akan membawa dampak negatif dalam diri seseorang. Orang yang
berada di antara teman-teman pemabuk, ia akan menjadi pemabuk. Orang yang
berada di antara teman-teman penjudi, ia akan menjadi penjudi. Orang yang
berada di antara teman-teman yang gemar berbelanja, ia akan ikut gemar
berbelanja. Sahabat palsu hanya menemani di kala temannya senang dan menghindar
di temannya dalam kesusahan.
DAMPAK NEGATIF GAYA HIDUP
HEDONIS
Perkembangan gaya
hidup hedonis di Indonesia paling pesat terlihat dari kalangan generasi muda,
yang diposisikan sebagai generasi penerus. Hal tersebut yang menyebabkan
terkikisnya budaya asli Indonesia dari waktu ke waktu. Sesungguhnya keinginan
untuk hidup senang dan mewah adalah sebagian dari naluri semua manusia, tetapi
hal tersebut tidak boleh dibiarkan membudaya dalam masyarakat karena akan menimbulkan
dampak negatif, diantaranya:
- Hedonisme membuat orang lupa akan tanggungjawabnya karena apa yang dia lakukan semata-mata untuk mencari kesenangan diri.
- Manusia akan memprioritaskan kesenangan diri sendiri dibanding memikirkan orang lain, sehingga menyebabkan hilangnya rasa persaudaraan, cinta kasih dan kesetiakawanan sosial.
- Sikap egoisme akan semakin membudaya
- Semakin berkembangnya sistem kapitalis-sekuler
- Merusak suatu sistem nilai kehidupan yang ada dalam masyarakat sekarang, mulai sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, pendidikan sampai sistem pemerintahan.
- Meningkatnya angka kriminalitas. Tindak kriminal yang terjadi kebanyakan dilatar belakangi oleh sifat hedonisme manusia semata.
BUDDHISME: JALAN TENGAH
ANTARA HEDONISME DAN ASKETISME
Ada dua sikap
terhadap kesenangan: mengejar kesenangan atau menjauhi kesenangan. Sikap
mengejar kesenangan akan berujung pada hedonisme yang menganggap bahwa
kesenangan adalah tujuan utama hidup manusia. Sedangkan sikap menjauhi
kesenangan akan berujung pada asketisme yang berusaha melepaskan segala bentuk
kemewahan. Bahkan dalam asketisme ekstrim, seseorang akan berusaha menghindari
segala bentuk kesenangan dan keindahan dengan cara menyiksa diri, hidup di
hutan, mengenakan sehelai kain, serta tidak makan dan minum.
Buddha dalam proses
pencarian pencerahan juga melakukan praktik asketisme ekstrim. Beliau selama
enam tahun menyiksa diri di hutan, hanya duduk bermeditasi, tidak makan maupun
minum, hingga badannya hanya tinggal kulit pembungkus tulang. Namun beliau
kemudian menyadari bahwa dengan menjauhi segala bentuk kesenangan indera dengan
cara menyiksa diri tidak akan membawa pada pencerahan. Beliau mengakhiri
latihan ekstrim tersebut dan mengubah cara berlatih dengan sikap madya, tidak
terlalu keras dalam berlatih dan tidak terlalu lentur. “Seperti senar mandolin,
bila ditarik terlalu kencang akan putus, dan bila terlalu kendur tidak akan
menghasilkan bunyi”. Demikianlah akhirnya, beliau mampu mencapai kesempurnaan
dan menemukan jalan tengah menuju pembebasan.
Buddha tidak
mengajarkan untuk mengumbar kesenangan maupun menghindari segala bentuk
kesenangan melainkan bersikap waspada. Kewaspadaan dibutuhkan agar tidak
terperdaya oleh pikiran-pikiran negatif (keserakahan, kesombongan, pandangan
keliru, dan kemelekatan). Memiliki pengendalian diri terhadap nafsu keinginan
merupakan hal yang utama karena nafsu keinginan adalah sumber penderitaan.
Pemenuhan keinginan bukanlah prioritas utama melainkan pemenuhan kebutuhan.
Keinginan manusia tidak ada batasnya. Ketika pemenuhan keinginan menjadi hal
yang utama, maka sampai kapanpun seseorang akan mengejar keinginan yang tak
berkesudahan. Untuk memperoleh kebahagiaan orang hendanknya berlaku jujur,
rendah hati, mudah merasa puas, hidup sederhana, dan tidak melekat (Karaniya Metta Sutta).
DAFTAR REFERENSI
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dialogue
of The Buddha (Digha Nikaya) Vol I. Translated.
David, Rhys. 1979. London: The Pali Text Society.
Dialogue
of The Buddha (Digha Nikaya) Vol II. Translated.
David, Rhys. 1979. London: The Pali Text Society.
Feldman, Fred. 1997. Utilitarianism, Hedonism, and Desert: Essays in Moral Philosophy.
Australia: Cambridge University Press.
http://anaktebidah.blogspot.co.id/2014/03/gaya-hidup-hedonis-dan-penyebabnya.html
(diakses tanggal 4 Maret 2016)
http://pascamatematika.blogspot.co.id/2012/11/filsafat-hedonisme-gaya-hidup-masa-kini.html
(diakses tanggal 4 Maret 2016)
Jankabhivamsa, Ashin. 2005. Abhidhamma Sehari-hari. Jakarta:
Ehipassiko.
Piyaratana, W. 2008. The Analysis of
Sensual Love as Depicted in The Pali Nikayas. Thailand:
Mahaculalongkornrajavidyalaya University.
Praja, Dauzan Deriyansyah, dan Anita
Damayantie._.Potret Gaya Hidup Hedonisme Di
Kalangan Mahasiswa (Studi pada Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Lampung).
Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 3: 184-193.
Sadhu, Siddharta. 2015. Cārvāka Hedonism Compared with That of
Aristippus and Epicurus. Paripex - Indian Journal of Research. Vol 4:
71-72.
The Book of Discourse (Sutta Nipata) Vol. I. Translated. Norman, K.R. 1984, London:
The Pali Text Society.
The
Book of The Kindered Sayings (Samyutta Nikāya) Vol
I. Translated. Davids, Rhys. 1987. London: The Pali Text Society
The
Middle Length Saying (Majjhima Nikaya) Vol.I.
Translated. Hoener, I.B. 1989. London:
The Pali Text Society.
The
Word of the Doctrine (Dhammapada). Translated. Norman.
2004. London: The Pali Text Society.
0 komentar:
Posting Komentar