Albert Einstein Quote

Agama Buddha adalah agama masa depan

Buddha Quote

Berpikir Di Sini dan Saat Ini

The Dalai Lama Quote

Agama Saya Sederhana. Agama Saya Adalah Kebaikan

Dhammapada 223

Kalahkan Keburukan Dengan Kebaikan

Vaddhana Quote

Dhamma adalah Jawaban dari Segala Pertanyaan

Rabu, 27 April 2016

Lagu Buddhis - "Dhamma Forever"

Lagu "Dhamma Forever" diciptakan oleh Shery Meiny & Gunasaro. Lagu tersebut dipopulerkan oleh penyanyi muda Buddhis berbakat, Yovi Vania Chan. Lagu berbahasa Inggris ini menginspirasi kita untuk tetap berpegang dalam Dhamma di saat kehidupan selalu berproses menuju kelapukan. 
Lirik Lagu Buddhis "Dhamma Forever":

Dhamma Forever

When mother-earth defeated by the time
There’s nothing be able to stop it
Being given chance to dive in dhamma
Was a precious gift of kamma

When it comes for spring to great fall
When shade of ruby turns into gleam dew
Dhamma will never ever lost its time
It’ll always be there to be observed

Reff :

Isn’t it true that our life is interim ?
Live in dhamma while time still exist
Dhamma will guide us for firm stance
While lives on the world still go on

Pengetahuan Dhamma: Solusi untuk Masalah Remaja


Remaja merupakan masa peralihan dari anak menuju dewasa. Pada masa inilah timbul banyak gangguan dalam penyesuaian diri sehingga munculah remaja-remaja bermasalah. Masalah yang dialami dapat timbul dari dalam diri (internal) sebagai proses penyesuaian diri terhadap perkembangan fisik dan psikologi, serta dari luar (eksternal) sebagai proses interaksi dengan lingkungan keluarga, pergaulan, masyarakat, budaya, dan penggunaan teknologi. Masalah-masalah yang dihadapi remaja antara lain: masalah moral, masalah pergaulan, masalah emosional, masalah hubungan dengan orang tua, dan masalah gaya hidup.
            Ada masalah tentu ada solusi. Berbagai cara dapat dilakukan untuk membantu remaja mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Perhatian orangtua, bimbingan konseling, pendidikan dan penyuluhan, serta bimbingan spiritual dapat membantu mengatasi masalah-masalah remaja. Dapatkah pengetahuan Buddha Dhamma turut memberikan solusi bagi kehidupan remaja?

REMAJA DAN MASALAHNYA
            Remaja (Latin: Adolenscence) berarti tumbuh menjadi dewasa, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1992). Masa remaja merupakan masa peralihan atau perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis,kognitif, dan social-emosional. Masa remaja berlangsung antara umur 12-21 tahun bagi wanita, dan 13-22 tahun bagi pria (Sundari, 2004). Ciri-ciri remaja adalah sebagai berikut:
1.        Pertumbuhan fisik
Remaja mengalami pertumbuhan fisik yang lebih cepat dibandingkan masa anak-anak dan masa dewasa.
2.        Perkembangan seksual
Remaja mengalami perkembangan alat reproduksi, hormon, dan fertilitas
3.        Perubahan cara berfikir
Remaja mulai memiliki cara berpikir kausatif yaitu menyangkut hubungan sebab akibat
4.        Emosi yang meluap-luap
Keadaan emosi remaja masih labil, suatu saat bias sedih sekali dan dilain waktu marah sekali.
5.        Mulai tertarik lawan jenis
Dalam kehidupan sosial, remaja mulai melakukan pendekatan terhadap lawan jenis dan berpacaran (proses mengenal lawan jenis lebih dekat)
6.        Mencari perhatian dari lingkungan
Remaja ingin diperhatikan oleh keluarga, sahabat, dan lingkungan sekitar.
7.        Terikat dengan kelompok
Remaja tertarik untuk membuat kelompok teman sebaya dan kelompok yang sehobi
            Masa remaja merupakan masa yang sulit dan sering disebut masa stress and storm. Remaja dihadapkan pada perubahan-perubahan yang membuatnya bingung. Tidak hanya perubahan fisik yang berkembang pesat, namun juga perubahan lingkungan yang memaksa remaja untuk menjadi dewasa. Lingkungan mengharapkan remaja bias bertanggung jawab seperti halnya orang dewasa. Perubahan-perubahan ini membuat remaja mengalami kebingungan terhadap jati dirinya. Sehingga sebagian besar remaja mengalami masalah baik itu dengan orang tua, teman, pacar, maupun kehidupan di sekolah.
            Remaja memiliki rasa ingin tahu yang besar, dan mudah sekali terpengaruh arus perkambangan zaman. Kadang mereka tidak dapat mengendalikan rasa ingin tahunya sehingga berani mencoba-coba sesuatu yang belum saatnya mereka alami. Ditambah pergaulan yang tidak baik juga dapat menimbulkan masalah yang serius. Tidak heran kita temukan kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja. Remaja dituntut untuk mandiri dan memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri, namun tentu saja mereka masih membutuhkan pendampingan dari orang tua, guru, dan orang-orang dewasa untuk menghadapi masalah kehidupan remaja. Mereka perlu diberikan bekal pengetahuan yang cukup sehingga dapat mencari solusi untuk masalah-masalah mereka.

KRISIS MORAL REMAJA
            Permasalahan krisis moral di kalangan remaja saat ini telah menjadi masalah yang cukup serius. Banyak remaja yang mengesampingkan nilai-nilai etika dan terbawa arus budaya barat yang kurang sesuai dengan adat istiadat masyarakat. Generasi muda mengalami gejolak, benturan norma dan persoalan nilai yang kurang ditanamkan orang tua dan munculnya usaha generasi muda untuk megadakan perubahan nilai dalam masyarakat yang umumnya bertentangan dengan generasi tua. Penyimpangan moral remaja biasanya diwujudkan dalam bentuk kenakalan. Santrock (2003) menjelaskan kenakalan remaja berdasarkan tingkah laku, yaitu;
1.        Tindakan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial karena bertentangan dengan nilai-nilai norma- norma dalam  masyarakat.
Contoh: berkata kasar pada guru, orang tua.
2.        Tindakan pelanggaran ringan
Contoh: membolos sekolah, kabur pada jam mata pelajaran tertentu dll.
3.        Tindakan pelanggaran berat yang merujuk pada semua tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja.
Contoh: mencuri, seks pranikah, menggunakan obat-obatan terlarang.
            Lima aturan moralitas (Pancasila Buddhis) merupakan landasan moral bagi umat Buddha. Pengenalan dan pengamalan pancasila harus ditanamkan pada remaja untuk mewujudkan manusia susila sehingga tidak terjadi penyimpangan moral. Dasar pelaksanaan sila adalah rasa malu berbuat jahat (Hiri) dan takut akan akibat perbuatan jahat (Ottapa). Lima aturan moralitas Buddhis adalah sebagai berikut:
1.        Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan
Semua makhluk hidup ingin mempertahankan kehidupannya dan berharap untuk hidup selama mungkin. Tidak ada yang berhak mengambil kehidupan makhluk lain, termasuk melukai dan menyakiti secara fisik dengan alasan apapun. Dasar dari pelaksanaan sila ini adalah cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk. Akibat dari pelanggaran sila ini adalah dapat memperpendek usia, sakit-sakitan serta terlahir di alam sengsara.
Apabila seorang remaja telah memahami dan mampu menjalankan sila ini dengan baik, maka ia tidak akan melakukan pelanggaran, seperti: tawuran, berkelahi, melukai orang lain, melakukan tindakan penganiayaan, dan pembunuhan.
2.        Aku bertekad melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan
Semua orang memiliki harta bendanya masing-masing dan ingin mempertahankannya selama mungkin. Dasar pelaksanaan sila ini adalah rasa saling menghargai kepemilikan orang lain. Akibat dari pelanggaran sila ini adalah terlahir miskin dan serba kekurangan.
Apabila seorang remaja telah memahami dan mampu menjalankan sila ini dengan baik, maka ia tidak akan melakukan pelanggaran, seperti: mencuri, menjambret, membegal, dan plagiat.
3.        Aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan asusila
Perbuatan asusila diartikan sebagai hubungan seks yang tidak sah. Tujuan dari sila ini adalah untuk meredam nafsu seksual yang meluap-luap yang dapat mengakibatkan tindakan penyimpangan. Dalam hal kesehatan juga bermanfaat untuk mencegah HIV/Aids. Akibat dari pelanggaran sila ini adalah tidak dapat membina hubungan yang lama dengan pasangan dan terlahir di alam binatang.
Apabila seorang remaja telah memahami dan mampu menjalankan sila ini dengan baik, maka ia tidak akan melakukan pelanggaran, seperti: selingkuh, perkosaan dan seks pranikah.
4.        Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan bohong
Sila ini bertujuan agar tidak menyebabkan orang lain tersesat dan tertipu, termasuk menghindari pencemaran nama baik dan reputasi. Sudah seharusnya kita berucap benar, jujur, bermanfaat, dan dilandasi cinta kasih. Ucapan dapat lebih tajam daripada pisau. Menjaga ucapan dapat memelihara keharmonisan. Akibat dari pelanggaran sila ini adalah tidak dipercaya orang lain dan tidak punya teman.
Apabila seorang remaja telah memahami dan mampu menjalankan sila ini dengan baik, maka ia tidak akan melakukan pelanggaran, seperti: ucapan kasar, menyontek, ingkar janji, memfitnah, PHP.
5.        Aku bertekad melatih diri menghindari makanan dan minuman yang melemahkan kesadaran
Kesadaran yang melemah dapat mengacaukan pikiran. Dalam kondisi mabuk, seseorang dapat tanpa sadar melakukan pembunuhan, pencurian, tindakan asusila, dan ucapan kasar. Akibat dari pelanggaran sila ini adalah mengalami kerugian bagi diri sendiri, dikarenakan lemahnya kewaspadaan harta bendanya tidak terjaga, keluarga tidak terjaga, kesehatan memburuk dan dicap negatif oleh lingkungan.
Apabila seorang remaja telah memahami dan mampu menjalankan sila ini dengan baik, maka ia tidak akan melakukan pelanggaran, seperti: mengkonsumsi alkohol, ganja, dan narkoba.

MASALAH PERGAULAN REMAJA
            Sebagai makhluk sosial, manusia tak lepas dari orang lain. Begitu pula dengan remaja. Ia memerlukan interaksi dengan orang lain untuk mencapai kedewasaannya. Masalah yang timbul adalah bagaimana seorang remaja itu bergaul, dengan siapa, dan apa dampak pergaulan tersebut bagi dirinya, orang lain, dan lingkungan. Pergaulan remaja zaman sekarang memang sangat memprihatinkan. Tidak jarang berbagai berita mengenai kenakalan remaja bermunculan. Mulai dari geng motor tawuran, seks bebas, sampai pada penggunaan narkotika. Ini menunjukkan bahwa pergaulan remaja saat ini sudah tidak sehat lagi. Cara bergaul remaja seperti sekarang ini tentu saja menimbulkan dampak negatif berkaitan dengan kualitas generasi muda. Remaja memang bebas bergaul dengan siapa saja, membuat kelompok kegemaran, melakukan aktivitas bersama sebagai penyaluran hobi, namun tetap ada batasan-batasannya.
            Dalam bergaul harus pandai memilih sahabat. Dalam Sigalovada-sutta dijelaskan mengenai sahabat baik (Kalyanamitta) dan sahabat palsu (Akalyanamitta). Terdapat empat macam sahabat baik, yaitu:
1.     Sahabat yang suka menolong ( upakaro mitto )

  • Ia yang menjaga dirimu sewaktu lengah;
  • Ia yang menjaga harta bendamu sewaktu engkau lengah;
  • Ia yang menjaga dirimu sewaktu dalam ketakutan;
  • Ia memberi bantuan dua kali daripada yang engkau perlukan

2.     Sahabat pada waktu senang dan susah ( samanasukha dukkhomitto )

  • Ia menceritakan rahasia-rahasia dirinya kepadamu;
  • Ia menjaga rahasia-rahasia dirimu;
  • Ia tidak meninggalkan dirimu sewaktu engkau berada dalam kesulitan;
  • Ia bahkan bersedia mengorbankan hidupnya demi kepentinganmu.

3.      Sahabat yang memberi nasehat baik ( atthakhayamitto)

  • Ia mencegah dirimu berbuat jahat;
  • Ia menganjurkan dirimu untuk berbuat benar;
  • Ia memberitahukan apa yang belum pernah engkau dengar;
  • Ia menunjukan jalan ke surga.

4.      Sahabat  yang bersimpati ( anukampakamitto ).

  • Ia tidak merasa gembira terhadap kesengsaraanmu;
  • Ia merasa senang atas kesejahteraanmu;
  • Ia mencegah orang lain berbicara jelek tentang dirimu;
  • Ia membenarkan orang lain memujimu.

Terdapat empat orang yang harus dipandang sebagai musuh yang berpura-pura sebagai sahabat (Akalyanamitta) yaitu:
1.     Orang yang tamak ( Annadathuro )

  • Ia yang tamak;
  • Ia memberi sedikit dan meminta banyak;
  • Ia melakukan kewajibannya karena takut;
  • Ia hanya ingat akan kepentingannya sendiri.

2.        Orang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat sesuatu ( Vaci paramo )

  • Ia menyatakan bersahabat berkenaan dengan hal-hal yang lampau;
  • Ia yang menyatakan persahabatan berkenaan dengan hal-hal yang mendatang;
  • Ia berusaha untuk mendapatkan simpati dengan kata-kata kosong;
  • Bila ada kesempatan untuk membantu, ia menyatakan tidak sanggup.

3.      Penjilat ( Annuppiyabhani )

  • Ia menyetujui hal-hal yang salah;
  • Ia tidak menganjurkan hal-hal yang benar;
  • Ia akan memuji dihadapanmu;
  • Ia berbicara jelek tentang dirimu dihadapan orang-orang lain.

4.      Pemboros  ( Apayasahayo ).

  • Ia menjadi kawanmu apabila enkau gemar minum minuman keras;
  • Ia menjadi kawanmu apabila engkau gemar berkeliaran di jalan-jalan pada waktu yang tidak pantas;
  • Ia menjadi kawanmu apabila engkau mengejar tempat-tempat hiburan;
  • Ia menjadi kawanmu apabila engkau gemar berjudi.


GEJOLAK EMOSIONAL REMAJA
Emosi menjadi isu menarik pada usia remaja. Masa remaja sering disebut sebagai masa topan dan badai. Istilah tersebut muncul tidak lain karena gejolak emosi yang terjadi pada masa remaja yang begitu dinamis. Masa remaja awal adalah masa dimana terjadinya fluktuasi emosi (naik-turun) yang intensitas waktunya lebih sering. Remaja dapat menjadi manusia yang paling bahagia suatu waktu dan kemudian menjadi manusia paling menyedihkan di saat lainnya.
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Perubahan fisik dan kelenjar serta lingkungan mempengaruhi perkembangan emosi pada remaja. Perubahan fisik pada remaja, terutama organ-organ seksual yang mempengaruhi berkembangnya perasaan dan dorongan-dorongan yang baru dialami sebelumnya, seperti rasa cinta, rindu dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis mempengaruhi perkembangan emosi yang tinggi pada remaja. Meningginya emosi remaja dipengaruhi juga ketika remaja berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan ketika di masa kanak-kanak remaja kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan tekanan sosial dan kondisi yang baru.
Perasaan marah, sedih, dan bahagia muncul karena perasaan suka dan tidak suka terhadap suatu perubahan. Untuk mengatasinya, kita harus memahami konsep Tilakkhana dalam Agama Buddha. Tilakkhana atau tiga corak umum itu adalah tiga keadaan yang mencengkram segala sesuatu dalam alam semesta ini. Tidak ada suatu bentuk apapun yang bebas dari tiga corak umum tersebut, maka dari itu Tilakkhana merupakan corak universal dari segala sesuatu yang ada. Tiga corak umum tersebut, yaitu:
1.        Anicca (ketidak kekalan)
Segala sesuatu selalu berubah atau segala sesuatu tidak kekal. Buddha mengajarkan bahwa seluruh alam semesta ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya dan tidak kekal. Anicca lakkhana atau corak yang selalu berubah-ubah adalah corak yang khas dari keadaan Viparimana dan Annatha Bhava. Viparimana yaitu suatu perubahan yang radikal di alam semesta yang merupakan perubahan yang disebut dari bentuk ada ke keadaan yang tiada. Annathabhava berarti perubahan yang mengikuti suatu keadaan sedikit demi sedikit.
2.        Dukkha (penderitaan)
Keadaan tidak memuaskan, tidak menyenangkan, kesakitan, kedukaan, kesedihan, penderitaan yang dialami oleh seseorang. Terdapat ungkapan sabbe sankhara dukkha berarti segala sesuatu yang merupakan gabungan unsur-unsur adalah dukkha. Ada tiga jenis dukkha yang dimaksud oleh sang buddha, yaitu dukkha-dukkha, viparimana dukkha dan sankhara dukkha. Dukkha-dukkha yaitu dukkha sebagai penderitaan biasa seperti kelahiran, sakit, tua, kematian, berpisah dengan orang yang dicintai dan berkumpul dengan orang yang dibenci, tidak memperoleh yang diinginkan, keluh kesah dan kesedihan. Viparimana dukkha yaitu dukkha sebagai akibat dari perubahan seperti suatu perasaan bahagia pada waktunya akan berubah dan perubahan ini akan menimbulkan kesedihan, penderitaan dan ketidakbahagiaan. Sankhara dukkha yaitu dukkha sebagai akibat dari keadaan yang bersyarat untuk itu seseorang hatus memahami manusia sebagai gabungan dari lima khandha yang terdiri atas badan jasmani, pikiran, perasaan, pencerapan dan kesadaran.
3.        Anatta (tanpa aku)
Kata anatta secara harafiah berarti tidak ada atta atau jiwa. Dalam hal ini yang dimaksud adalah bahwa di dalam alam semesta ini tidak terdapat jiwa yang kekal abadi yang tidak berubah sepanjang masa.
            Selain memahami konsep Tilakkhana, untuk mengembangkan keseimbangan emosi perlu adanya usaha untuk mengembangkan batin melalui meditasi. Meditasi sangat bermanfaat untuk mengendalikan emosi, menghindari pikiran-pikiran negatif, serta untuk merenungkan sifat-sifat luhur sehingga dapat mengkondisikan batin untuk selalu positive thinking.

REMAJA VS ORANGTUA
Menurut Steinberg (dalam Santrock, 2002: 42) mengemukakan bahwa masa remaja awal adalah suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang tua, dan harapan-harapan yang dilanggar oleh pihak orang tua dan remaja.
Permasalahan yang sering terjadi adalah komunikasi yang tidak sehat antara remaja dengan orangtua dan benturan keinginan antara anak dan orangtua. Kadang remaja lebih mementingkan urusan kelompok teman sebaya sehingga orangtua dinomor duakan. Kadang pula orangtua lebih mementingkan bekerja sehingga anak merasa ditelantarkan. Untuk membangun keharmonisan antara orangtua dan anak perlu didasari rasa cinta kasih, kasih sayang, dan kepedulian serta mampu menjalankan kewajiban-kewajiban baik anak terhadap orangtua maupun orangtua terhadap anak. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang dalam Sigalovada-sutta, antara lain:

- Kewajiban orang tua terhadap anak
1.  Mencegah anak berbuat jahat 
           Orang tua merupakan guru pertama bagi seorang anak. Untuk itu merupakan kewajiban yang utama bahwa orang tua harus mencegah anak untuk berbuat jahat. Seorang anak akan percuma mempunyai pengetahuan intelektual yang tinggi apabila orang tua tidak dapat  mengarahkan anaknya untuk tidak berbuat jahat, karena mempunyai intelektual tinggi belum dapat menjamin seorang anak mempunyai moralitas yang tinggi. Bisa saja dengan kepintarannya ia melakukan hal yang dapat merugikan orang lain seperti halnya membohongi, mencuri dan sebagainya. Untuk itu orang tua mempunyai kewajiban untuk mengarahkan dengan mencegah anak berbuat jahat. 
2.  Menganjurkan anak berbuat baik

Menganjurkan anak berbuat baik merupakan kewajiban orang tua. Salah satu upaya yang dilaksanakan yaitu dengan memberi nasihat dan menganjurkan agar anak melaksanakan pancasila Buddhis yaitu tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berbohong dan tidak minum-minuman keras, agar nantinya terbentuk moral yang baik khususnya dalam hal melaksanakan kewajiannya terhadap orang tua.
     3.   Memberikan pendidikan profesional kepada anak
Pendidikan merupakan warisan yang sangat berharga bagi seorang anak. Untuk itu orang diharapkan untuk memberikan pendidikan profesional kepada anak, karena hal tersebut akan mendorong anak untuk hidup mandiri. Dengan mempunyai pendidikan dan ketrampilan maka anak dapat mencari nafkah sediri untuk menunjang hidupnya nanti.
     4.    Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
Pasangan yang sesuai yaitu mencari pasangan yang memiliki saddha yang sama, artinya yang memiliki keyakinan atau agama yang sama; mencari yang berperangai baik dan berkelakuan baik, mencari yang murah hati dan tidak kikir namun tidak boros yaitu yang memiliki kebijaksanaan yang cukup. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan mengadakan pengamatan yang cukup lama, karena hal itu tidak dapat dilihat hanya melalui bagian luarnya saja.
5.    Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat
Menyarahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat tersebut artinya bahwa warisan tersebut diberikan setelah mereka siap untuk menerimanya, harta kekayaan atau warisan tersebut akan dapat dipergunakan sebagai modal usaha untuk hidup mandiri dalam masyarakat. Untuk itu walaupun orang tua telah mengumpulkan harta kekayaannya dengan bersusah payah, maka ia harus memberikan harta kekayaannya kepada anaknya.

- Kewajiban anak terhadap orangtua
     1.   Dahulu aku telah dipelihara/dibesarkan oleh mereka, sekarang aku akan menyokong mereka
Orang tua merupakan pahlawan bagi hidup seorang anak yaitu ia menjaga dan merawat anak dengan penuh kasih sayang serta melakukan berbagai cara agar anak dapat hidup dengan bahagia. Untuk itu seorang anak harus menyokong orang tua ketika mereka telah beranjak tua dengan tanpa pamrih, karena telah begitu besar jasa orang tua yang telah dilakukan kepada anak.
2.   Melakukan tugas-tugas kewajibanku terhadap mereka
Melakukan tugas-tugas kewajiban terhadap orang tua adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan oleh anak. Setiap anak seharusnya mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan melaksanakan hal-hal tersebut dengan sebaik-baiknya untuk memuaskan orang tua. Adalah kewajiban bagi anak untuk menyenangkan dan membahagiakan orang tua mereka, bila perlu mengorbankan, kesenangan atau kepentingan sendiri demi orang tua. Seorang anak tidak seharusnya tidak hanya memperhatikan mereka dalam hal kesenangan materi akan tetapi juga harus memperhatikan pada kesenangan batin orang tua yaitu dengan Mendorong orang tua agar mereka mengembangkan kemurahan hati, moral etik, kebajikan, kebijaksanaan dan lain sebagainya.
     3.   Menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga
Menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga merupakan kewajiban seorang anak untuk melakukannya karena hanya anak yang dapat memelihara garis keturunan (silsilah) dan tradisi keluarga.
    4.   Membuat diriku pantas untuk menerima warisan.
Seorang anak yang baik akan selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan Dhamma, tidak bertentangan dengan Dhamma. Demikian juga setelah anak menerima warisan dari orang tua, ia seharusnya mengelola dengan baik, tidak dihambur-hamburkan tetapi seharusnya digunakan untuk modal usaha, atau untuk mengembangkan usaha yang sudah ada, sehingga membawa manfaat bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, maupun bagi lingkungan masyarakatnya atau negaranya.
5.   Mengurus persembahyangan orang tua telah meninggal dunia
Merupakan kewajiban seorang anak untuk mengurus persembahyangan setelah orang tua meninggal dunia. Dalam hal ini seorang anak harus melakukan pattidana atau pelimpahan jasa.
Dalam Dhammapada dikatakan bahwa “Berlaku baik terhadap ibu merupakan kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan” (Dhammapada 332).

REMAJA DAN GAYA HIDUP
Perubahan zaman membawa manusia masuk ke dalam budaya baru, budaya yang modern, dinamis, praktis dan serba instan. Munculnya budaya baru tentu memberikan kontribusi yang beragam baik positif maupun negatif. Barangkali dengan perkembangan layanan teknologi manusia semakin cepat mengakses informasi, melahirkan generasi yang peka zaman dan berwawasan luas, namun tidak menutup kemungkinan memberikan efek negatif bagi si penerima pengaruh tersebut. Pengaruh-pengaruh dapat membentuk suatu watak yang tidak memiliki daya juang dikarenakan segalanya serba instan. Yang sangat mengkhawatirkan ini sangat mempengaruhi para generasi muda khususnya remaja yang terhitung cukup banyak mengkonsumsi layanan teknologi secara instan.
Di sebagian besar masyarakat kita, layanan instan pada berbagai sarana telah menjadi budaya baru di sekeliling kita. Begitu mudahnya kita memperoleh informasi, transportasi, makanan cepat saji. Ironisnya kemudahan-kemudahan tersebut terkadang tidak disesuaikan dengan kontrol yang proporsional, baik kontrol diri maupun kontrol social. Jika dibiarkan ini akan membeku menjadi suatu karakter diri yang akan berperilaku instan pula pada kehidupan sosial. Banyak kasus yang tejadi ketika anak menginginkan sesuatu kepada orang tuanya tidak memahami kondisi orang tuanya memiliki kemampuan untuk memperoleh yang diinginkan atau tidak, yang ia tahu hanya barang yang diminta harus sesegera mungkin ia peroleh, tanpa ada suatu usaha yang sehat. Kasus yang demikian dimungkinkan sebagai buah dari pembiasaan budaya instan yang negatif. Dari gambaran tersebut mengindikasikan bahwa budaya instan dapat mempengaruhi kematangan emosi seseorang.
Menurut Overstreet (dalam Puspitasari dan Nuryoto, 2002) yang mempengaruhi kematangan emosi seseorang salah satunya adalah memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan sosial. Pernyataan Overstreeet tersebut menitik beratkan pada kemampuan seseorang untuk menjakin hubungan sosial, dan apabila kita komparasikan dengan perilaku budaya instant memiliki probabilitas yang kuat. Alasannya jelas, bahwa budaya instant mampu membawa seseorang untuk mengurangi kemampuannya melakuklan hubungan sosial. Misalkan saja orang yang sudah menyatu dengan perkembangan tekhnologi komunikasi seperti handphone dan internet, akan enggan bertemu langsung dengan orang lain untuk sekedar tatap muka atau berkomunikasi secara langsung. Tanpa kita sadari hal ini sangat mempengaruhi mentalitas kita yang selalu ingin segala sesuatunya diperoleh secara instant dan bahkan menggunakan cara-cara yang menyimpang. Inilah yang dinamakan dengan mentalitas instantisme (Widodo, 2009).
Permasalahan sentral berkaitan dengan gaya hidup remaja saat ini yaitu gaya hidup konsumtif. Remaja pada dasarnya masih bergantung pada orang tua dan belum dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam pandangan Buddhis, gaya hidup konsumtif merupakan pemuasan terhadap nafsu keinginan (tanha) yang berakar pada keserakahan (lobha) dan ketidaktahuan (moha). Upaya mengatasi gaya hidup konsumtif, yaitu:
1.        Hidup Seimbang (Samajivita)
Hidup seimbang yaitu hidup sesuai dan seimbang dengan penghasilan, atau hidup tidak boros. Manusia dianjurkan untuk hidup tidak boros, tidak hanya menggunakan kekayaan yang dimiliki hanya untuk bersenang-senang atau berfoya-foya. Selain itu seseorang harus menggunakan penghasilan dengan cara-cara yang benar, yaitu dengan menggunakan penghasilannya sebagai modal usaha. Supaya kekayaan yang telah dimiliki atau penghasilan yang telah diperoleh tidak habis, melainkan terus bertambah.
Materi dalam Agama Buddha bukanlah musuh yang harus dihindari, namun juga bukan pula majikan yang harus dipuja. Hendaknya seseorang bersikap netral terhadap materi serta mampu mempergunakannya sewajarnya sesuai dengan kebutuhan. Apabila manusia semua melaksanakan atau mempunyai pola hidup yang seimbang, tidak mempunyai pola hidup yang boros, yang hanya memuaskan nafsu keinginanya. Maka prilaku konsumerisme akan dapat teratasi dan akan tercipta suasanya yang harmonis dalam kehidupan berkeluaga maupun bermasyarakat.
2.        Mudah Merasa puas (Santutthi)
Dalam agama Buddha keseluruhan mekanisme pemenuhan kebutuhan digerakan oleh Tanha. Agama Buddha menawarkan penghentian keinginan yang berdasarkan Tanha dengan menggunakan rasa puas atau dalam bahasa pali berarti Santutthi. Santutthi berarti kepuasan hati menerima dengan iklas keadaan-keadaan pada saat saat tertentu. Menerima dengan keseimbangan batin (Upekkha) dan tanpa mengerutu. Seseorang harus puas dengan kehidupannya dan rumahnya, kendaraannya, pakainnya, makanannya, dan lain-lain yang diperoleh sesuai dengan penghasilannya. Mempunyai harta yang melimpah jika tidak tahu bagaimana menyimpan dan menggunakannya akan menimbulkan kegelisahan, kecemasan dan ketakutan. Manusia memang tidak akan pernah lepas dari keinginan, hal ini telihat pada kehidupan masyarakat dewasa ini, yang selalu memuaskan keinginan indera tanpa memikirkan akibat atau resiko yang disebabkan dari keinginannya. Manusia tidak menyadari bahwa setelah keinginan terpenuhi, maka akan timbul keinginan yang baru, maka tidak terpenuhinya keinginan akan mengakibatkan rasa tidak puas atau tidak senang.
 Bagi kebanyakan orang di jaman modern ini. Tidak mudah untuk merasa puas kerena seseorang memiliki keinginan yang tiada batas dan selalu muncul sepanjang hidup. Semua media cetak dan elektronik penuh dengan iklan di mana-mana terdapat sarana yang dapat meningkatkan keinginan. Akan tetapi tidak semua keinginan manusia dapat terpenuhi sehingga mengakibatkan orang mengalami frustasi dan jauh dari kebahagiaan, tidak ada kepauasan. Orang yang tidak puas tidak akan mencapai keberhasilan hidup baik secara duniawi maupun spritual.
3.        Kesederhanaan atau Sikap tidak Berlebihan
Manusia sekarang ini sudah jauh dari sifat kesederhanaan, manusia senantiasa mengikuti keinginannya untuk memuaskan hawa nafsu, yang tanpa memperhatikan akibatnya. Yang terjadi sekarang ini manusia cenderung jauh dari sifat kesderhanaan, manusia lebih senang berfoya-foya untuk memuaskan keinginan. Selain itu manusia senantiasa berpikiran bahwa mereka akan dihargai atau mempunyai status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat apabila memiliki atau mempunyai harta yang banyak, mempunyai barang-barang yang bagus, mempunyai mobil yang mewah. Demi tuntutan stasus sosial yang lebih tinggi maka seseorang berusaha memenuhi kebutuhannya. Sikap kesederhanaan dapat menjauhkan diri seseorang dari sifat keserakahan, yang dapat menghambat perjalanan menuju kepada kebebasan abadi atau Nibbana

KESIMPULAN
Remaja merupakan masa yang sulit karena merupakan masa peralihan dari anak menuju dewasa. Masalah-masalah yang sering dihadapi oleh remaja meliputi krisis moral, pergaulan, emosi, hubungan dengan orangtua, dan gaya hidup. Pengetahuan Dhamma sangat penting dipahami oleh remaja Buddhis. Pengetahuan tentang lima aturan moralitas, sahabat baik dan sahabat palsu, tilakkhana, kewajiban orangtua dan anak, serta gaya hidup sesuai ajaran Buddha dapat memberikan solusi dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan remaja. Jadi, pengetahuan Dhamma memberikan solusi bagi kehidupan remaja saat ini.

Minggu, 24 April 2016

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI GAYA HIDUP HEDONIS DARI SUDUT PANDANG AGAMA BUDDHA


Manusia memiliki keinginan untuk selalu menikmati kebahagiaan di dalam hidupnya. Kebahagiaan bagi sebagian orang adalah keadaan dimana kehidupannya selalu diliputi kesenangan-kesenangan. Kesenangan dicari dengan cara memuaskan hasrat indera terhadap suatu objek. Pemuasan keinginan indera ditempuh dengan berbagai cara, misalnya: berburu kuliner untuk memanjakan lidah, pergi ke tempat-tempat yang ramai dengan musik, berbelanja barang-barang keluaran terbaru, bahkan berburu sesuatu yang dapat memuaskan hasrat seksual. Perilaku selalu mengejar kesenangan inilah yang dikenal sebagai perilaku hedonis.
Hedonisme adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Secara etimologi, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani “hedone” yang berarti “kepuasan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Tujuan paham aliran ini adalah untuk menghindari kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan sebanyak mungkin dalam kehidupan di dunia. Kebahagiaan diperoleh dengan mencari perasaan-perasaan menyenangkan dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak.
Seorang hedonis memiliki pandangan bahwa hidup harus dimanfaatkan untuk bersenang-senang. “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga” adalah empat hal yang diidamkan oleh para hedonis. Perilaku hedonis ini telah menyebar luas di dalam masyarakat. Penyebaran tidak hanya terjadi di lapisan masyarakat yang mapan secara ekonomi, namun menjangkit di seluruh lapisan dan golongan mayarakat. Pola hidup hedonis dapat terjadi di kalangan artis, pemerintah, pegawai negeri, pegawai swasta, bahkan remaja biasa. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan untuk berperilaku konsumtif.
Perilaku konsumtif adalah gaya hidup yang menganggap materi sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan kepuasan tersendiri. Perilaku konsumtif menciptakan kebiasaan pembelian produk bukan atas dasar kebutuhan melainkan sebagai lambang status. Pakaian, tas, sepatu yang memiliki merk terkenal lebih disukai meskipun mahal. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan keinginan atas status sosial bagi penganut gaya hidup konsumtif lebih diutamakan daripada pemenuhan kebutuhan dasar. Bagi golongan ekonomi menengah ke atas, hal tersebut wajar terjadi karena kebutuhan dasar sudah terpenuhi. Sedangkan bagi golongan ekonomi menengah ke bawah, akan muncul berbagai masalah yang diakibatkan karena ketidak seimbangan antara keinginan untuk membeli dengan daya beli. Mereka akan mencari segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau, termasuk dengan cara yang mengarah pada kriminalitas, misal: mencuri, membobol ATM, membegal, curanmor, penculikan, dan sebagainya.
Gaya hidup hedonis yang mengarah pada perilaku konsumtif menjadi topik bahasan yang menarik untuk dikaji. Bagaimana gaya hidup hedonis muncul dan bagaimana dampak dari hedonisme harus dibahas lebih dalam untuk membantu mengambil tindakan preventif maupun penanggulangan terhadap gaya hidup hedonis yang merebak di masyarakat. Lebih khusus, bagaimana Buddhisme memandang hedonisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup hedonis menjadi hal yang penting untuk dibahas karena Buddhisme dipandang sebagai ajaran yang berorientasi pada pelepasan nafsu keduniawian. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup hedonis dari sudut pandang agama Buddha.
SEJARAH HEDONISME
Sumber tertulis mengenai konsep hedonisme paling awal dijumpai dalam ajaran Barhaspatya yang dianut oleh Carvaka. Carvaka adalah suatu aliran filsafat India yang telah ada sekitar tahun 600 SM. Di dalam ajaran tersebut dijelaskan bahwa kematian adalah pembebasan sepenuhnya dari segala penderitaan. Mereka yang mencoba untuk mencapai keadaan bebas dari penderitaan dengan cara menekan keinginan karena berfikir bahwa segala kesenangan yang muncul dari pemuasannya bercampur dengan penderitaan, telah bertindak seperti orang-orang tolol. Orang bijaksana tidak akan menolak daging buah hanya karena ada kulit kerasnya. Seseorang hendaknya tidak melepaskan kesempatan menikmati kehidupan ini, dan berharap dengan sia-sia untuk menikmati kehidupan yang akan datang. Tujuan kehidupan manusia adalah untuk mencapai kesenangan sebanyak mungkin.
Hedonisme di barat muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Hedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat “apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?” Hal ini berawal dari Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia. Lalu Aristippus dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippus memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang ‘kesenangan’ (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.
Aristippus menyetujui pendapat Sokrates bahwa keutamaan hidup adalah mencari “yang baik”. Akan tetapi, ia menyamakan “yang baik” tersebut dengan kesenangan “hedone”. Menurutnya, akal (rasio) menusia harus memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan kesusahan. Hidup yang baik berkaitan dengan kerangka rasional tentang kenikmatan. Kesenangan menurut Aristippus bersifat badani (gerak dalam badan). Ia membagi gerakan itu menjadi tiga kemungkinan: gerak kasar (yang menyebabkan ketidaksenangan seperti rasa sakit), gerak halus (yang membuat kesenangan), dan tiada gerak (yaitu sebuah keadaan netral seperti kondisi saat tidur). Aristippus melihat kesenangan sebagai hal aktual, artinya kesenangan terjadi kini dan di sini. Kesenangan bukan sebuah masa lalu atau masa depan. Menurutnya, masa lalu hanya ingatan akan kesenangan (hal yang sudah pergi) dan masa depan adalah hal yang belum jelas.
Ajaran Epikuros menitikberatkan persoalan kenikmatan. Apa yang baik adalah segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, dan apa yang buruk adalah segala sesuatu yang menghasilkan ketidaknikmatan. Namun demikian, bukanlah kenikmatan yang tanpa aturan yang dijunjung Kaum Epikurean, melainkan kenikmatan yang dipahami secara mendalam. Kaum Epikurean membedakan keinginan alami yang perlu (seperti makan) dan keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), serta keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan yang berlebihan). Keinginan pertama harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menyebabkan kesenangan yang paling besar.
Kehidupan sederhana disarankan oleh Epikuros. Tujuannya adalah untuk mencapai “Ataraxia”, yaitu ketenteraman jiwa yang tenang, kebebasan dari perasaan risau, dan keadaan seimbang. Epikuros sangat menegaskan kebijaksanaan (phoronesis). Menurutnya, orang yang bijaksana adalah seorang seniman yang dapat mempertimbangkan pilihan nikmat atau rasa sakit. Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak kebutuhan, tetapi mereka yang membatasi kebutuhan agar dengan cara membatasi diri, ia akan mencapai kepuasan. Ia menghindari tindakan yang berlebihan. Oleh karena itu, Kaum Epikurean mempertimbangkan segi-segi positif dan negatif untuk mencapai kenikmatan jangka panjang dan mendekatkan diri kepada ataraxia.
GAYA HIDUP HEDONIS
Gaya hidup hedonis dalam pemahaman umum yang menggejala dalam masyarakat, merupakan sikap hidup yang cenderung foya-foya dan lebih bersifat glamor (hidup bermewah-mewahan). Gaya hidup hedonis adalah gaya hidup yang menjadikan kenikmatan dan kebahagiaan sebagai tujuan. Aktivitas apapun yang dilakukan selalu demi kenikmatan, bagaimanapun caranya, apapun sarananya dan apapun akibatnya. Orientasi hidup selalu diarahkan kesana dengan sedapat-dapatnya menghindari perasaan yang tidak enak atau menyakitkan. Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang ingin mencari kesenangan dan kenikmatan, senang membeli barang-barang mahal, selalu ingin menjadi pusat perhatian dan menghindari kesengsaraan dengan memiliki fasilitas yang berkecukupan. Gaya hidup hedonis dalam pelaksanaannya mempunyai karakteristik:
1.      Hedonisme Egoistis
Hedonisme egoistis adalah gaya hidup hedonis yang bertujuan untuk mendapatkan kesenangan semaksimal mungkin. Kesenangan yang dimaksud ialah dapat dinikmati dengan waktu yang lama dan mendalam. Sebagai contoh makan-makanan yang enak-enak, jumlah dan jenisnya banyak, dan disediakan waktu yang cukup lama untuk menikmati semuanya. Seperti pada perjamuan makan ala Romawi, apabila perut sudah penuh maka disediakan sebuah alat agar isi perut dapat dimuntahkan keluar, kemudian dapat diisi kembali jenis makanan yang lain sampai puas.
2.      Hedonisme Universal
Hedonisme universal mirip dengan ulitarisanisme yang artinya kesenangan maksimal bagi banyak orang. Contohnya: bila berdansa, haruslah berdansa bersama-sama, waktunya semalam suntuk, tidak boleh ada seorang pun yang absen, ataupun kesenangan-kesenangan lainnya yang dapat dinikmati bersama oleh semua orang.
HEDONISME DALAM AGAMA BUDDHA
Hedonisme bukanlah hal yang asing dalam agama Buddha. Istilah hedonisme sama dengan kamma tanha dalam agama Buddha. Kamma tanha adalah nafsu keinginan yang berorientasi pada pemuasan kesenangan indera. Keinginan untuk memuaskan kesenangan indera merupakan sifat alami manusia. Manusia selalu berusaha mencari kenikmatan dan menghindari hal-hal yang dianggap sebagai penderitaan. Nafsu keinginanlah yang menjadi sumber penderitaan.
Buddha sebelum mencapai penerangan sempurna merupakan seorang pangeran pewaris tahta kerajaan Kapilavasthu. Sebuah kerajaan besar yang memiliki daerah kekuasaan yang luas. Semasa hidupnya sebagai seorang pangeran, beliau selalu dikelilingi dengan kekayaan yang berlimpah, makanan dan minuman yang hanya dapat dinikmati keluarga kerajaan dan bangsawan, wanita-wanita penghibur dan musik-musik, serta kekuasaan untuk mendapatkan apapun yang diinginkan sehingga beliau tidak mengenal apa itu penderitaan. Raja Suddhodana sengaja menjauhkan anaknya dari hal-hal yang tidak menyenangkan agar ramalan yang menyatakan bahwa kelak Sang Pangeran akan meninggalkan kerajaan dan menjadi seorang pertapa tidak terjadi. Namun, Sang Pangeran mulai menyadari bahwa kesenangan hanya bersifat sementara setelah melihat empat hal (orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa) ketika beliau berkeliling ke luar istana. Beliau memutuskan pergi dari istana dan menjadi pertapa untuk mencari jalan pembebasan dari penderitaan.
Kesenangan duniawi bukanlah tujuan utama manusia. Ada kebahagiaan yang jauh lebih tinggi daripada kenikmatan duniawi, yaitu nibbana. Nibbana adalah kondisi dimana tidak ada lagi keinginan dan tidak ada lagi kelahiran. Dalam Alagaddupama Sutta dituliskan bahwa apa yang Buddha ajarkan baik di masa sekarang maupun masa lalu hanyalah tentang penderitaan dan cara melenyapkan penderitaan. Dapat dikatakan bahwa Buddhisme mengajarkan untuk menghindari gaya hidup hedonis dengan dasar bahwa kesenangan inderalah yang membuat manusia terjebak dalam lingkaran tumimbal lahir yang tiada henti di alam samsara.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI GAYA HIDUP HEDONIS
Saat ini yang muncul dalam diri sebagian besar orang bukanlah keinginan untuk terlepas dari kesenangan duniawi melainkan keinginan untuk tetap menikmati kesenangan-kesenangan indera. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup hedonis dalam agama Buddha adalah sebagai berikut:
1.      Keserakahan
Keserakahan merupakan salah satu dari tiga akar kejahatan. Keserakahan dalam agama Buddha diistilahkan dengan lobha (Pali) atau raga (Sansekerta). Lobha adalah keinginan berlebihan terhadap sesuatu yang menyenangkan. Keserakahan timbul ketika perasaan menyenangi objek (sukkha-vedana) muncul. Dalam proses pencerapan objek oleh landasan indera, ada tiga jenis perasaan yang dapat timbul, yaitu: senang, tidak senang, dan netral. Misalkan lidah mengecap makanan yang lezat, maka muncul perasaan senang. Perasaan senang yang tidak terkendali akan menimbulkan keinginan untuk menikmati makanan tersebut secara terus menerus. Apabila disertai dengan keegoisan, maka yang muncul adalah keinginan untuk menikmati kesenangan indera tanpa mempedulikan hak orang lain. Itulah yang dinamakan dengan keserakahan. Selama masih ada keserakahan, manusia akan terseret dalam penderitaan yang tak berkesudahan.
2.      Kesombongan
Kesombongan muncul ketika seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain. Perasaan memiliki hal yang lebih dibandingkan orang lain akan memunculkan kesombongan sedangkan perasaan memiliki hal yang kurang dibandingkan orang lain akan memunculkan sikap rendah diri. Namun agama Buddha memandang bahwa sikap membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain sudah termasuk kesombongan meskipun yang ada dalam dirinya lebih buruk dibandingakan orang lain. Tidak jarang orang yang memiliki kekurangan (dalam penampilan, kecerdasan, atau kekayaan) bersikap angkuh. “Biar jelek asal sombong” menjadi suatu prinsip bagi beberapa orang. Kesombongan dijadikan sebagai pertahanan diri agar tidak dipandang rendah orang lain.
Kesombongan dalam agama Buddha diistilahkan dengan mana. Dalam Parabhava Sutta, Buddha menyampaikan bahwa kesombongan atas kelahiran, kekayaan, dan suku, merendahkan orang lain adalah penyebab keruntuhan. Romo Dharma K Widya (2014) menerangkan ada empat jenis kesombongan berdasarkan penyebab yang dapat timbul dalam diri manusia, yaitu:
  • Kesombongan yang muncul akibat kelahiran. Sebagian besar orang dikenal karena kelahirannya (terlahir dari keluarga mana, siapa orang tuanya, dan status sosialnya apa). Orang yang terlahir dengan status sosial yang tinggi akan cenderung bersikap sombong. Mereka cenderung memandang rendah orang lain. Kelahiran bukanlah sesuatu yang pantas disombongkan, untuk dibualkan, atau untuk berpikir orang lain hina. Sekalipun seseorang tidak dilahirkan dalam keluarga yang luhur atau berdarah biru, jika dia ramah, sopan dan lembut kepada yang miskin, dia akan lebih dihormati dan dicintai 
  • Kesombongan yang muncul akibat kepemilikan/kekayaan. Banyak orang kaya yang tidak mau bergaul dengan orang miskin. Mereka berpikir bahwa dirinyalah yang paling kaya. Pepatah lama mengatakan, “Tidak pernah melihat sungai besar, anak sungai dianggap yang terbesar". Jika mereka terbuka dan baik kepada orang miskin, mereka akan lebih dihormati. Bahkan mereka akan ditolong ketika dalam bahaya. Oleh karena itu, kemakmuran yang telah diperoleh pada kehidupan ini karena kedermawanan pada kehidupan lampau, tidak semestinya menjadi sesuatu yang akan menuntun menuju tataran yang lebih rendah pada kehidupan mendatang. Orang kaya harus berjuang dengan cara-cara yang terhormat untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dan menyediakan bantuan bagi mereka. Limpahan harta dalam kehidupan sekarang bisa menghadapi banyak marabahaya. Sekalipun bisa terhindar dari marabahaya, harta hanya bisa digunakan pada kehidupan sekarang. 
  • Kesombongan yang muncul akibat dari penampilan. Penampilan fisik yang rupawan pada saat ini diakibatkan karena dalam kehidupan lampau bebas dari dosa (kebencian), mempersembahkan bunga, membersihkan altar dan Vihara, dan sebagainya. Kecantikan dan ketampanan menjadi sesuatu yang dibanggakan oleh setiap orang. Orang yang berpenampilan menarik akan lebih mudah mendapatkan teman, pekerjaan, dan disukai oleh banyak orang. Karena itulah banyak orang yang mengejar kerupawanan. Segala cara dilakukan untuk mempertahankan kecantikan atau ketampanan bahkan mengubah wajah aslinya menjadi wajah yang diinginkan dengan bantuan teknologi medis. Cantik tapi plastik. Bagaimanapun juga, kecantikan yang berasal dari luar hanyalah sementara, namun kecantikan yang berasal dari dalam akan terpancar selamanya. 
  • Kesombongan yang muncul akibat dari kecerdasan dan ilmu yang dimiliki. Pengetahuan adalah suatu modal untuk memberikan pendidikan apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, dan bagaimana hidup berbudaya serta berhubungan sosial dengan orang lain. Sebagian orang merasa sombong hanya karena pendidikan dan kelulusan akademik. Pendidikan adalah sesuatu yang dipelajari dari orang lain dan bukan hal yang terlalu luar biasa. Setiap orang bisa mendapatkan pendidikan formal jika diberi kesempatan untuk belajar dari guru yang baik. Ketika bertemu dengan seorang yang buta huruf dan sangat dungu, beberapa orang bersikap sombong dan memandang rendah. Pada dasarnya, pengetahuan dicapai agar dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.
3.      Pandangan Salah
Pandangan salah atau pemahaman keliru dalam agama Buddha diistilahkan dengan Ditthi. Ditthi memandang atau mengerti dengan keliru, sesuatu yang ada dianggap tidak ada, yang tidak ada dianggap ada; yang salah dianggap benar, yang benar dianggap salah. Ditthi juga secara dogma menganggap pandangan sendiri yang keliru sebagai benar dan pandangan benar orang lain sebagai keliru. Mempercayai dunia dan isinya diciptakan oleh sosok Yang Mahakuasa; percaya adanya atta (jiwa) disetiap tubuh makhluk; pandangan salah seperti itu disebut ditthi, percaya sesuatu yang tidak ada sebagai ada.
Secara keliru berpandangan bahwa perbuatan baik dan buruk tidak akan menimbulkan akibat pada kemudian hari; berpandangan salah bahwa tidak ada akibat dari kamma padahal semua makhluk menikmati atau menderita akibat dari kamma dengan berbagai cara; berpandangan salah bahwa tidak ada Nibbana yang merupakan padamnya segala penderitaan; berpandangan salah bahwa tidak ada kehidupan lagi setelah kematian padahal terus ada lingkaran kelahiran kembali sebelum pencapaian Nibbana. Pandangan-pandangan tersebut adalah ditthi.
4.      Kemelekatan
Perasaan ingin selalu memiliki atau menikmati sesuatu yang menyenangkan disebut sebagai kemelekatan. Dalam agama Buddha kemelekatan diistilahkan dengan upadana. Upadana merupakan sebab dari penderitaan. Ketika seseorang melekati apa yang dimiliki, maka pada saat kehilangan atau berpisah ia akan diliputi perasaan sedih yang mendalam. Dalam Upadana Sutta dijelaskan mengenai 4 jenis kemelekatan, yaitu:
  • Kamupadana (kemelekatan terhadap nafsu indera). Kamupadana adalah timbulnya kemelekatan dan keinginan untuk menguasai (memiliki) atau menghancurkan sesuatu dikala: melihat yang disukai atau tidak, mendengar yang menyenangkan atau tidak, mencium aroma yang wangi atau tidak, mengecap yang enak atau tidak, merasakan sentuhan yang lembut atau tidak, serta berpikir yang indah atau tidak. Terjadinya kemelekatan setelah adanya kontak antara indera dengan objek-objek yang tersentuh, itulah penjara. Seseorang yang begitu melekat dengan apa yang dia inginkan, berhasil diraih atau tidak, suatu saat pasti akan menimbulkan derita. Jika berhasil diraih, dia harus mencurahkan perhatian untuk merawat dan menjaganya. Benda apapun cepat maupun lambat, apakah dikehendaki atau tidak, pasti akan mengalami proses kehancuran. Jika proses kehancuran ini terjadi sedangkan seseorang begitu terlekat olehnya akan menimbulkan dukkha (derita). Begitu juga sebaliknya, jika tidak berhasil mendapatkan apa yang telah diidam-idamkan, derita juga yang dirasakan. Sang Buddha bersabda, "Makhluk-makhluk yang terjerat pada keinginan, meronta-ronta seperti kelinci yang terperangkap oleh pemburu. Mereka yang terjerat dalam belenggu dan ikatan batin, niscaya mengalami penderitaan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama" (Dhammapada 342). 
  • Ditthupadana (kemelekatan terhadap pandangan salah). Pandangan salah dalam hal ini adalah tidak bisa menerima atau mengerti kebenaran-kebenaran yang berlaku di alam semesta ini. Kebenaran kebenaran tersebut, misalnya adalah: setiap perbuatan, pasti akan menimbulkan akibat, benda apapun yang terdapat di alam semesta ini, tidaklah kekal keberadaannya, serta perbuatan baik akan menimbulkan kebahagiaan dan yang jahat akan menghasilkan penderitaan. Tidak sedikit dijumpai, yang hanya dikarenakan kesalahan pandangan hidup, seseorang enggan dan menolak untuk mau beramal. Baginya, beramal adalah suatu perbuatan yang sia-sia saja serta mubazir. Seseorang yang melekat pada pandangan keliru sangat sulit menerima kebenaran. Ia akan melihat orang lain salah dan ia selalu benar. 
  • Silabbatupadana (kemelekatan terhadap upacara/ritual). Silabbatupadana adalah suatu pandangan salah, yang meyakini bahwa dengan hanya memberikan (meletakkan) persembahan persembahan (sajian-sajian), di altar suci para Buddha, Bodhisattva dan Dewa, akan mendapatkan pahala-pahala atau berkah. Dan yang lebih fatal lagi adalah mempersembahkan daging (sebagai hasil dari pengorbanan makhluk hidup) di altar suci. Orang yang melekat pada upacara/ritual akan memberikan persembahan dalam bentuk apapun (daging, sayuran atau buah), diiringi dengan sejumlah pengharapan, misal: ingin mendapatkan kekayaan, jodoh, kekuasaaan atau kesucian. Hal tersebut adalah merupakan pandangan yang salah. Semuanya adalah wujud dari pengharapan yang sia-sia saja
  • Attavadupadana (kemelekatan terhadap keegoisan). Tidak ada seorangpun yang serba tahu atau sempurna di dalam kehidupan ini. Berdasarkan pada kebenaran ini, terlahir kaya, pintar, berkuasa, sehat dan lain sebagainya, bukanlah hal yang patut disombongkan. Tanpa adanya dukungan atau timbunan karma (perbuatan) baik, yang telah disemai di kehidupan-kehidupan sebelumnya, tidaklah mungkin kita bisa menikmati kelebihan kelebihan disaat ini. Keegoisan timbul karena adanya kebanggaan yang berlebihan atas kelebihan-kelebihan yang telah dimiliki. Orang kaya yang egois hanya akan memanfaatkan kekayaannya untuk melampiaskan kepuasan dirinya semata. Orang pintar yang egois selalu memperdaya pihak lain. Orang rupawan yang egois hanya memanfaatkan kecantikan dan ketampanannya untuk merendahkan pihak lain. Orang berkuasa yang egois akan bersikap otoriter, siapa yang menentang akan langsung disingkirkan. Orang yang melekat pada keegoan pribadi akan selalu mementingkan dirinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain.
5.      Sahabat Palsu
Sahabat palsu dalam agama Buddha dikenal dengan istilah Akalyanamitta. Dalam Sigalovada Sutta, Buddha menjelaskan empat jenis sahabat palsu yaitu sebagai berikut:
a.       Sahabat yang tamak, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)       Serakah
2)       Memberi sedikit dan meminta banyak
3)       Melakukan kewajibannya karena takut
4)       Hanya ingat akan kepentingannya sendiri.
b.      Orang yang banyak bicara sedikit berbuat, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)         Ia menyatakan persahabatan berkenaan dengan hal-hal yang lampau,
2)         Ia menyatakan persahabatan berkenaan dengan hal-hal yang mendatang,
3)         Ia berusaha untuk mendapatkan simpati dengan kata-kata kosong,
4)         Bila ada kesempatan untuk membantu ia mengatakan tidak sanggup.
c.       Penjilat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)         Menyetujui hal-hal yang salah
2)         Tidak menganjurkan hal-hal yang benar
3)         Memuji di depan
4)         Berbicara jelek dihadapan orang-orang lain.
d.      Kawan pemboros mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)         Menjadi kawan apabila gemar akan minum minuman keras
2)         Menjadi kawan apabila sering berkeliaran di jalan pada waktu yang tidak pantas
3)         Menjadi kawan apabila mengejar tempat-tempat hiburan dan pertunjukkan
4)         Menjadi kawan apabila gemar berjudi.
Keserakahan, kesombongan, pandangan keliru, dan kemelekatan merupakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi gaya hidup hedonis. Semakin orang serakah, semakin ia akan berusaha untuk memuaskan nafsu keinginannya. Semakin orang sombong, semakin ia akan berusaha menjadikan dirinya untuk selalu lebih dibandingkan orang lain melalui penampilan dan kekayaan. Semakin orang tersesat dalam pandangan keliru, semakin ia terseret dalam pemahaman bahwa hidup hanya untuk bersenang-senang. Semakin orang melekati apa yang disenangi, semakin ia akan berusaha mempertahankannya.
Sahabat palsu merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi gaya hidup hedonis. Pergaulan yang tidak baik tentu akan membawa dampak negatif dalam diri seseorang. Orang yang berada di antara teman-teman pemabuk, ia akan menjadi pemabuk. Orang yang berada di antara teman-teman penjudi, ia akan menjadi penjudi. Orang yang berada di antara teman-teman yang gemar berbelanja, ia akan ikut gemar berbelanja. Sahabat palsu hanya menemani di kala temannya senang dan menghindar di temannya dalam kesusahan.
DAMPAK NEGATIF GAYA HIDUP HEDONIS
Perkembangan gaya hidup hedonis di Indonesia paling pesat terlihat dari kalangan generasi muda, yang diposisikan sebagai generasi penerus. Hal tersebut yang menyebabkan terkikisnya budaya asli Indonesia dari waktu ke waktu. Sesungguhnya keinginan untuk hidup senang dan mewah adalah sebagian dari naluri semua manusia, tetapi hal tersebut tidak boleh dibiarkan membudaya dalam masyarakat karena akan menimbulkan dampak negatif, diantaranya:
  1. Hedonisme membuat orang lupa akan tanggungjawabnya karena apa yang dia lakukan semata-mata untuk mencari kesenangan diri.
  2. Manusia akan memprioritaskan kesenangan diri sendiri dibanding memikirkan orang lain, sehingga menyebabkan hilangnya rasa persaudaraan, cinta kasih dan kesetiakawanan sosial.
  3.  Sikap egoisme akan semakin membudaya
  4. Semakin berkembangnya sistem kapitalis-sekuler
  5. Merusak suatu sistem nilai kehidupan yang ada dalam masyarakat sekarang, mulai sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, pendidikan sampai sistem pemerintahan.
  6. Meningkatnya angka kriminalitas. Tindak kriminal yang terjadi kebanyakan dilatar belakangi oleh sifat hedonisme manusia semata.
BUDDHISME: JALAN TENGAH ANTARA HEDONISME DAN ASKETISME
Ada dua sikap terhadap kesenangan: mengejar kesenangan atau menjauhi kesenangan. Sikap mengejar kesenangan akan berujung pada hedonisme yang menganggap bahwa kesenangan adalah tujuan utama hidup manusia. Sedangkan sikap menjauhi kesenangan akan berujung pada asketisme yang berusaha melepaskan segala bentuk kemewahan. Bahkan dalam asketisme ekstrim, seseorang akan berusaha menghindari segala bentuk kesenangan dan keindahan dengan cara menyiksa diri, hidup di hutan, mengenakan sehelai kain, serta tidak makan dan minum.
Buddha dalam proses pencarian pencerahan juga melakukan praktik asketisme ekstrim. Beliau selama enam tahun menyiksa diri di hutan, hanya duduk bermeditasi, tidak makan maupun minum, hingga badannya hanya tinggal kulit pembungkus tulang. Namun beliau kemudian menyadari bahwa dengan menjauhi segala bentuk kesenangan indera dengan cara menyiksa diri tidak akan membawa pada pencerahan. Beliau mengakhiri latihan ekstrim tersebut dan mengubah cara berlatih dengan sikap madya, tidak terlalu keras dalam berlatih dan tidak terlalu lentur. “Seperti senar mandolin, bila ditarik terlalu kencang akan putus, dan bila terlalu kendur tidak akan menghasilkan bunyi”. Demikianlah akhirnya, beliau mampu mencapai kesempurnaan dan menemukan jalan tengah menuju pembebasan.
Buddha tidak mengajarkan untuk mengumbar kesenangan maupun menghindari segala bentuk kesenangan melainkan bersikap waspada. Kewaspadaan dibutuhkan agar tidak terperdaya oleh pikiran-pikiran negatif (keserakahan, kesombongan, pandangan keliru, dan kemelekatan). Memiliki pengendalian diri terhadap nafsu keinginan merupakan hal yang utama karena nafsu keinginan adalah sumber penderitaan. Pemenuhan keinginan bukanlah prioritas utama melainkan pemenuhan kebutuhan. Keinginan manusia tidak ada batasnya. Ketika pemenuhan keinginan menjadi hal yang utama, maka sampai kapanpun seseorang akan mengejar keinginan yang tak berkesudahan. Untuk memperoleh kebahagiaan orang hendanknya berlaku jujur, rendah hati, mudah merasa puas, hidup sederhana, dan tidak melekat (Karaniya Metta Sutta).


DAFTAR REFERENSI
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dialogue of The Buddha (Digha Nikaya) Vol I. Translated. David, Rhys. 1979. London: The Pali Text Society.
Dialogue of The Buddha (Digha Nikaya) Vol II. Translated. David, Rhys. 1979. London: The Pali Text Society.
Feldman, Fred. 1997. Utilitarianism, Hedonism, and Desert: Essays in Moral Philosophy. Australia: Cambridge University Press.
Jankabhivamsa, Ashin. 2005. Abhidhamma Sehari-hari. Jakarta: Ehipassiko.
Piyaratana, W. 2008. The Analysis of Sensual Love as Depicted in The Pali Nikayas. Thailand: Mahaculalongkornrajavidyalaya University.
Praja, Dauzan Deriyansyah, dan Anita Damayantie._.Potret Gaya Hidup Hedonisme Di Kalangan Mahasiswa (Studi pada Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Lampung). Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 3: 184-193.
Sadhu, Siddharta. 2015. Cārvāka Hedonism Compared with That of Aristippus and Epicurus. Paripex - Indian Journal of Research. Vol 4: 71-72.
The Book of Discourse (Sutta Nipata) Vol. I. Translated. Norman, K.R. 1984, London: The Pali Text Society.
The Book of The Kindered Sayings (Samyutta Nikāya) Vol I. Translated. Davids, Rhys. 1987. London: The Pali Text Society
The Middle Length Saying (Majjhima Nikaya) Vol.I. Translated. Hoener, I.B. 1989.  London: The Pali Text Society.
The Word of the Doctrine (Dhammapada). Translated. Norman. 2004. London: The Pali Text Society.